SHALAT TARAWIH, REBO WEKASAN, DAN HANDPHONE

Rabu, 21 Januari 2015
Sebagian orang ada yang beranggapan bahwa shalat tarawih adalah bid'ah hasanah padahal telah jelas di dalam hadits shahih bahwa Rasulullah melakukan shalat tarawih berjama'ah. Sungguh, sangat disayangkan, karena kurangnya pemahaman terhadap bid'ah, maka masih saja ada orang yang mengganggap Sunnah yang Shahih seperti Shalat Tarawih Berjama'ah yang mempunyai keutamaan ini yang bersumber dari amalan Rasulullah dianggap sebuah bid'ah. Bahkan, yang paling parah adalah mereka mengganggap perkara keduniawian seperti teknologi itu merupakan bid'ah hasanah.

Kalo ada yang bilang handphone itu bid'ah, apakah handphone itu sebuah ritual keagamaan atau handphone itu teknologi buatan manusia?

Tentu jawabannya handphone itu teknologi, yang jadi masalah kenapa handphone dijadikan contoh bid'ah hasanah?

Kalo ada yang bilang puasa rebo wekasan itu bid'ah hasanah, apakah puasa rebo wekasan itu sebuah ritual keagamaan atau puasa rebo wekasan itu teknologi buatan manusia?

Tentu jawabannya orang yang mengamalkan puasa rebo wekasan itu berniat beribadah agar tidak tertimpa kesialan dan bala pada hari rebo wekasan, tapi kenapa hukum puasa rebo wekasan itu dipersamakan dengan handphone?

Kalo ada yang bilang shalat tarawih berjamaah itu bid'ah hasanah, apakah shalat tarawih berjamaah itu tidak pernah dicontohkan Rasulullah?

Tentu jawabannya,  shalat tarawih itu adalah sunnah dan bukan bid'ah hasanah, seperti dalil dari hadits dibawah :


عَنْ أَبي ذَرٍ رضي الله عنه قَالَ: صُمْنَا معَ رَسُولِ الله صلى الله عليه وسلم رَمَضَانَ فَلَمْ يَقُمْ بنا شَيءٌ مِنَ الشَّهرِ حَتَّى بَقيَ سَبعٌ فَقَام بنا حتَّى ذَهَبَ ثُلُثُ اللَّيلِ، فلمَّا كَانتْ السَّادسَةُ لم يَقُم بِنَا، فلمَّا كانت الخَامِسَةُ قام بِنَا حتَّى ذَهَبَ شطْرُ اللَّيلِ فَقُلتُ: يا رَسُولَ الله، لو نَفَلْتَنَا قِيَامَ هذهِ اللَّيلةِ، قَالَ: فَقَالَ: إنَّ الرَّجُلَ إذا صَلَّى مَعَ الإِمَامِ حَتَّى يَنصَرِفَ حُسِبَ له قِيَامُ لَيلَةٍ، قالَ: فلمَّا كانَت الرَّابِعَةُ لم يَقُمْ، فلمَّا كانت الثَّالثَةُ جَمَعَ أَهْلَهُ ونِسَاءَهُ والنَّاسَ فقَامَ بنَا حتَّى خَشِينَا أن يَفُوتَنَا الفَلاحُ. قَالَ: قُلتُ: مَا الفَلاحُ؟ قَالَ: السَّحُورُ، ثمَّ لم يَقُم بنَا بَقِيَّة الشَّهر
رواه الأربعة وصححه الترمذي.

Dari Abu Dzarr radliyallaahu ‘anhu ia berkata : Kami pernah berpuasa bersama Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam pada bulan Ramadlan. Tidaklah beliau shalat tarawih bersama kami hingga tersisa tujuh hari dari bulan tersebut. Saat itu baru beliau shalat bersama kami hingga berakhir/selesai pada sepertiga malam (yang terakhir pertama). Pada saat malam tersisa enam hari lagi, beliau kembali tidak shalat bersama kami. Ketika malam tersisa lima hari lagi, maka beliau shalat bersama kami hingga berakhir/selesai pada waktu tengah malam. Aku berkata : “Wahai Rasulullah, seandainya kita shalat kembali pada (sisa) malam ini ?”. Maka beliau menjawab : ”Sesungguhnya, seseorang yang shalat bersama imam hingga selesai, maka dihitung baginya shalat semalam suntuk”. Ketika malam tersisa empat hari lagi, beliau tidak shalat bersama kami. Namun ketika malam tinggal tersisa tiga hari, beliau mengumpulkan keluarganya, istri-istrinya, dan orang-orang yang ada; kemudian shalat bersama kami hingga kami khawatir tertinggal waktu falah. Aku pernah bertanya : ”Apa makna falah itu ?”. Beliau shallallaahu ’alaihi wasallam menjawab : ”Waktu sahur”. Kemudian beliau kembali tidak shalat bersama kami pada sisa malam di bulan Ramadlan tersebut.

[Diriwayatkan oleh empat imam, dan dishahihkan oleh At-Tirmidzi] [1].

Beberapa Faidah dan Hukum yang Terkandung dalam Hadits di Atas :
1. Disunnahkannya shalat tarawih. Bahwasannya Nabi shallallaahu ’alaihi wasallam melakukannya dengan berjama’ah bersama manusia dan kemudian meninggalkannya karena takut diwajibkan atas kaum muslimin.

2. Disyari’atkannya shalat tarawih bagi wanita di masjid secara berjama’ah bersama kaum muslimin, dikarenakan Nabi shallallaahu ’alaihi wasallam mengumpulkan keluarganya, istri-istrinya, dan orang-orang yang ada yang kemudian shalat bersama mereka.

3. Barangsiapa yang shalat bersama imam hingga ia selesai dari shalatnya tersebut, maka dituliskan baginya shalat semalam suntuk yang ia shalat berjama’ah bersama imam tersebut. Sudah sepatutnya bagi seorang muslimin untuk tidak melalaikan kebaikan yang sangat besar ini. Ia harus tamak dan bersemangat untuk menyempurnakan shalat tarawih berjama’ah bersama kaum muslimin pada setiap malam bulan Ramadlan. Imam Ahmad rahimahullah pernah ditanya : «”Mana yang engkau senangi shalatnya seseorang bersama manusia di bulan Ramadlan ataukah ia shalat sendirian ?. Maka beliau menjawab : ”Jika ia shalat bersama manusia, maka ia telah menghidupkan sunnah”. Beliau menambahkan : ”Aku menyukai untuk shalat bersama imam dan witir bersamanya” ». [2]

4. Bahwasannya yang menjadi sunnah dalam shalat tarawih adalah mengerjakan di awal waktu malam sebagaimana yang dilakukan oleh Nabi shallallaahu ’alaihi wasallam dan para shahabatnya radliyallaahu ’anhum. Imam Ahmad rahimahullah pernah ditanya : «”Bagaimana pendapatmu) mengakhirkan shalat – yaitu tarawih – hingga akhir malam ?”. Maka beliau menjawab : ”Tidak, sunnah kaum muslimin lebih aku cintai (yaitu shalat di awal waktu malam)” » [3]. Syaikh Ibnu Baaz rahimahullah pernah ditanya : «”Apabila orang-orang menyepakati untuk mengakhirkan pelaksanaan shalat witir pada waktu akhir malam ?”. Maka beliau menjawab : ”Shalat mereka secara berjama’ah bersama manusia pada waktu awal malam lebih utama”».

5. Apabila pada diri seseorang terdapat semangat dan kekuatan untuk melakukan ibadah dimana ia menyempurnakan shalatnya bersama manusia di awal malam dan kemudian ia melanjutkan shalat bagi dirinya sendiri di akhir malam sesuai dengan kesanggupannya, maka ia telah mengumpulkan dua kebaikan sekaligus : a) kebaikan shalat berjama’ah bersama imam hingga selesai, dan b) kebaikan shalat di akhir malam.[4]
Diterjemahkan oleh Abul-Jauzaa’ dari buku Al-Muntaqaa lil-Hadiitsi fii Ramadlaan oleh Ibrahim bin Muhammad Al-Haqiil, Cet. 1/1427, halaman 99-100.


Catatan kaki :
[1] Diriwayatkan oleh Abu Dawud (no. 1375), At-Tirmidzi (no. 806) dan ia berkata : Hasan shahih, An-Nasa’i (3/83), Ibnu Maajah (no. 1327), Ahmad (5/163). Dishahihkan oleh Ibnu Khuzaimah (no. 2205) dan Ibnu Hibban (no. 2547).
[2] Tuhfatul-Ahwadzi (3/448). Lihat pula Al-Mughni (1/457).
[3] Al-Mugni (1/457).
[4] Penulis berpendapat bolehnya melaksanakan shalat tarawih lebih dari 11 atau 13 raka’at tanpa batasan bilangan tertentu – Abul-Jauzaa’.  · 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar