Beberapa
tahun lalu (sekitar 4 atau 5 tahun lalu), ana shalat di sebuah masjid.
Ketika masuk ke masjid, rupanya shalat berjamaahnya sudah selesai. Dalam
masjid itu ada beberapa orang yang sudah selesai shalat, dan hanya ada
satu orang yang juga datang terlambat dan belum shalat, maka kami pun
membuat jama’ah kedua. Ana persilahkan orang tersebut menjadi imam, dan
ana sebagai makmum. Berhubung makm…umnya hanya ana sendiri, jadi ana
mengambil posisi di sebelah kanan imam dan sejajar dengan imam. Rupanya
sikap ana tersebut diperhatikan oleh seorang bapak tua yang ada di dalam
masjid itu.
Setelah kami selesai shalat, ana kemudian di datangi
oleh bapak tua tersebut (katanya bapak tua itu termasuk tokoh agama di
tempat itu). Tanpa basa basi, bapak tua itu langsung bertanya ke ana
dengan nada agak keras, “Saya mau tahu, tadi kalian shalat yang jadi
imam siapa dan yang jadi makmum siapa?”
Saya menjawab, “Yang jadi imam adalah orang ini, dan saya makmumnya.”
Bapak
tua itu berkata, “Kalau kamu makmum, kenapa shalatnya sejajar dengan
imam? Dimana-mana, kalau makmum itu di belakang imam atau agak
kebelakang sedikit!”
Saya berkata, “Maaf, saya belum tahu
dalilnya kalau makmumnya hanya seorang maka shalatnya harus dibelakang
imam atau agak kebelakang. Bisa kasih tahu dalilnya?”
Bapak tua itu berkata, “Oh ada dalilnya!”
Saya bertanya, “Bisa kasih tahu pak?”
Bapak tua itu menjawab, “Di Al Qur’an juga ada!”
Saya bertanya lagi, “Kalau di Al Qur’an ada, di surah apa dan ayat berapa?”
Bapak tua itu menjawab, “Saya tidak hafal surat atau ayatnya, pokoknya ada! Saya pernah dengar dari guru saya.”
Saya
berkata, “Kalau ada, mungkin bapak bisa bertanya ke guru bapak
dalilnya, nanti kalau sudah ada bisa kasih tahu ke saya, saya tunggu.”
Bapak tua itu berkata, “Guru saya lulusan Mesir. Dia tahu dalilnya, nanti saya akan tanya ke dia.”
Saya
berkata lagi, “Iya. Namun sebelumnya saya mau kasih tahu beberapa dalil
ke bapak (kemudian ana membawakan beberapa hadits ke bapak tua itu
tentang posisi makmum ketika shalat berjamaah apabila makmum itu
sendirian
yaitu di sebelah kanan imam dan sejajar dengan imam).Nah itu dalil saya, jika bapak bisa membawakan dalil juga yang shahih maka saya akan mengikuti bapak, insya Allah.”Setelah itu kami pun berpisah. Hari demi hari ana pun menunggu jawaban dari bapak tua itu, namun tidak kunjung datang…Dan sekarang ini, detik ini, tahukah apa yang terjadi pada bapak tua itu sekarang ini, setelah berlalu 4 atau 5 tahun?Alhamdulillah,
sekarang bapak tua itu sudah berjalan di atas manhaj Salaf. Beliau
sudah banyak mendapatkan ilmu2 yang bermanfaat. Beliau juga sudah sering
mengikuti kajian2 ilmiah bersama kami. Beliau sudah memanjangkan
jenggotnya dan memendekkan pakaiannya di atas mata kaki. Beliau sudah
banyak menghafal Al Quran dan Hadits Nabi. Beliau juga sudah banyak
mendakwahi manusia ke atas manhaj Salaf. Beliau juga sudah meninggalkan
amalan2 bid’ahnya yang dulu pernah dilakukannya. Dan beliau juga telah
menjadi imam shalat mengimami para ikhwah di Bojonggede.Dengan
dialog tersebut akhirnya bapak tua itu mulai banyak berpikir dan
semenjak itu kami sering berdialog, ditambah lagi bantuan dari ikhwah
yang banyak menasehati beliau. Untungnya beliau termasuk orang yang mau
menerima nasehat jika nasehat itu benar.Namun, yang
beliau hadapi sekarang sama halnya dengan ana ketika menghadapi beliau
dulu, yaitu sekarang beliau menghadapi orang2 yang kritis di
lingkungannya sama seperti kritisnya beliau terhadap ana dulu.Wallahul musta’an.Rasulullah
shalallahu alaihi wasallam bersabda, “Barang siapa yang Allah kehendaki
padanya kebaikan maka Allah akan pahamkan dia dalam masalah agama.”
(HR: Bukhari).Dari Abdullah bin ‘Abbas radhiallahu anhuma dia berkata:بِتُّ
فِي بَيْتِ خَالَتِي مَيْمُونَةَ فَصَلَّى رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الْعِشَاءَ ثُمَّ جَاءَ فَصَلَّى أَرْبَعَ رَكَعَاتٍ
ثُمَّ نَامَ ثُمَّ قَامَ فَجِئْتُ فَقُمْتُ عَنْ يَسَارِهِ فَجَعَلَنِي
عَنْ يَمِينِهِ فَصَلَّى خَمْسَ رَكَعَاتٍ ثُمَّ صَلَّى رَكْعَتَيْنِ ثُمَّ
نَامَ حَتَّى سَمِعْتُ غَطِيطَهُ أَوْ قَالَ خَطِيطَهُ ثُمَّ خَرَجَ إِلَى
الصَّلَاةِ“Aku pernah menginap di rumah bibiku,
Maimunah. Lalu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam pergi shalat
‘isya kemudian kembali ke rumah dan shalat sunnat empat rakaat, kemudian
beliau tidur. Saat tengah malam beliau bangun dan shalat malam, aku
lalu datang untuk ikut shalat bersama beliau dan berdiri di samping kiri
beliau. Kemudian beliau menggeserku ke sebelah kanannya, lalu beliau
shalat lima rakaat, kemudian dua rakaat, kemudian tidur hingga aku
mendengar suara dengkur beliau. Setelah itu beliau kemudian keluar untuk
shalat (shubuh).” (HR. Al-Bukhari no. 656)Imam Al-Bukhari rahimahullah memberikan judul bab terhadap hadits di atas:بَابُ: يَقُوْمُ عَنْ يَمِيْنِ الإمامِ بِحِذائِهِ سَواء إِذا كانا اثْنَيْنِ“Bab: Makmum berdiri tepat di samping kanan imam jika mereka hanya shalat berdua.”Berkata
Atho’: “Imam yang sholat bersama seorang makmum shofnya berdampingan
sejajar, (makmum) tidak mundur sedikit. Dan ini telah diriwayatkan dari
Umar, Ibnu Umar, Ibnu Mas’ud dalam kitab al-Muwatho’.” [Lihat Taudhihul
Ahkam 2/269]Ibnu Utsaimin rohimahullah mengatakan:
“Adapun yang dikatakan oleh para ulama bahwa sepatutnya imam agak maju
sedikit, maka ini adalah pendapat yang sangat lemah, lantaran asal hukum
bershof adalah sejajar, dan tidak terdapat dalil yang menjelaskan hal
ini.” [Diringkas dari kaset rekaman Syarh Bulughul Maram oleh Ibnu
Utsaimin dari hadits no.33]Jika ada dua orang yang
shalat di belakang imam, maka keduanya berdiri bershaf di belakang imam
dalam satu shaf. Dasarnya adalah hadits Jabir radhiyallaHu ‘anHu,“Kemudian
aku datang hingga aku berdiri di samping kiri Rasulullah. Kemudian
beliau meraih tanganku dan memindahkanku hingga beliau menempatkanku di
sebelah kanannya. Kemudian datanglah Jabbar bin Shakhr. Ia berwudhu
kemudian datang dan berdiri di samping kiri Rasulullah. Maka beliau
meraih kedua tangan kami lalu mendorong kami hingga kami berdiri di
belakangnya” (HR. Muslim no. 3006, Ibnu Majah no. 974 dan Ahmad III/421)Berarti
makmum yang pertama bisa mundur ke belakang atau jika tidak
memungkinkan makmum untuk mundur, maka imamnya yang maju ke depan.
Sesama jenis, keduanya laki-laki atau keduanya wanita. Posisi makmum
tepat persis di samping kanan imam, dan tidak bergeser sedikit ke
belakang. Ini sebagaimana riwayat dari Ibnu Abbas radhiallahu ‘anha;
beliau menceritakan, “Saya pernah menginap di rumah Maimunah (bibi Ibnu
Abbas dan istri Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam). Ketika Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam melaksanakan shalat tahajud, aku pun
menyusul beliau dan berdiri di sebelah kiri beliau. Kemudian, Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam memindahkanku ke sebelah kanan, sejajar.”
(H.R. Bukhari dan Muslim)
- Lain jenis, imam laki-laki dan 1
makmum wanita. Posisi makmum, tepat di belakang imam, dan tidak perlu
serong, baik ke kiri maupun ke kanan. Dalilnya adalah hadis dari Anas
bin Malik radhiallahu ‘anhu, bahwa Nabi pernah shalat bersama Anas,
“Beliau memposisikan diriku di sebelah kanan beliau, sementara ada
seorang wanita yang menjadi makmum di belakang kami.” (H.R. Bukhari dan
Muslim)
- Imam wanita dan para makmum wanita. Maka posisi imam sejajar dengan makmum di tengah shaf.
Dari Roithoh Al Hanafiyah, dia mengatakan:
أن عائشة أمتهن وقامت بينهن في صلاة مكتوبة
“’Aisyah
dulu pernah mengimami para wanita dan beliau berdiri (sejajar) dengan
mereka ketika melaksanakan shalat wajib.” (HR. ‘Abdur Rozak, Ad
Daruquthniy, Al Hakim dan Al Baihaqi. An Nawawi mengatakan bahwa sanad
hadits ini shahih. Namun hadits ini dilemahkan/ didho’ifkan oleh Syaikh
Al Albani, namun dia memiliki penguat dari hadits Hujairoh binti Husain.
Lihat Tamamul Minnah, hal. 154)
Begitu juga hal yang sama dilakukan oleh Ummu Salamah. Dari Hujairoh binti Husain, dia mengatakan:
أمتنا أم سلمة في صلاة العصر قامت بيننا
“Ummu
Salamah pernah mengimami kami (para wanita) ketika shalat Ashar dan
beliau berdiri di tengah-tengah kami.” (HR. Abdur Rozak, Ibnu Abi
Syaibah, Al Baihaqi. Riwayat ini memiliki penguat dari riwayat lainnya
dari jalur Qotadah dari Ummul Hasan).
Wallahu a’lam.
Oleh Abu Fahd
·
Tidak ada komentar:
Posting Komentar