BAPAK TUA ITU TELAH BERUBAH (MENYIKAPI SHALAT BERJAMAAH)

Senin, 01 Desember 2014

Beberapa tahun lalu (sekitar 4 atau 5 tahun lalu), ana shalat di sebuah masjid. Ketika masuk ke masjid, rupanya shalat berjamaahnya sudah selesai. Dalam masjid itu ada beberapa orang yang sudah selesai shalat, dan hanya ada satu orang yang juga datang terlambat dan belum shalat, maka kami pun membuat jama’ah kedua. Ana persilahkan orang tersebut menjadi imam, dan ana sebagai makmum. Berhubung makm…umnya hanya ana sendiri, jadi ana mengambil posisi di sebelah kanan imam dan sejajar dengan imam. Rupanya sikap ana tersebut diperhatikan oleh seorang bapak tua yang ada di dalam masjid itu.

Setelah kami selesai shalat, ana kemudian di datangi oleh bapak tua tersebut (katanya bapak tua itu termasuk tokoh agama di tempat itu). Tanpa basa basi, bapak tua itu langsung bertanya ke ana dengan nada agak keras, “Saya mau tahu, tadi kalian shalat yang jadi imam siapa dan yang jadi makmum siapa?”

Saya menjawab, “Yang jadi imam adalah orang ini, dan saya makmumnya.”

Bapak tua itu berkata, “Kalau kamu makmum, kenapa shalatnya sejajar dengan imam? Dimana-mana, kalau makmum itu di belakang imam atau agak kebelakang sedikit!”

Saya berkata, “Maaf, saya belum tahu dalilnya kalau makmumnya hanya seorang maka shalatnya harus dibelakang imam atau agak kebelakang. Bisa kasih tahu dalilnya?”

Bapak tua itu berkata, “Oh ada dalilnya!”

Saya bertanya, “Bisa kasih tahu pak?”

Bapak tua itu menjawab, “Di Al Qur’an juga ada!”

Saya bertanya lagi, “Kalau di Al Qur’an ada, di surah apa dan ayat berapa?”

Bapak tua itu menjawab, “Saya tidak hafal surat atau ayatnya, pokoknya ada! Saya pernah dengar dari guru saya.”

Saya berkata, “Kalau ada, mungkin bapak bisa bertanya ke guru bapak dalilnya, nanti kalau sudah ada bisa kasih tahu ke saya, saya tunggu.”

Bapak tua itu berkata, “Guru saya lulusan Mesir. Dia tahu dalilnya, nanti saya akan tanya ke dia.”

Saya berkata lagi, “Iya. Namun sebelumnya saya mau kasih tahu beberapa dalil ke bapak (kemudian ana membawakan beberapa hadits ke bapak tua itu tentang posisi makmum ketika shalat berjamaah apabila makmum itu sendirian yaitu di sebelah kanan imam dan sejajar dengan imam).
Nah itu dalil saya, jika bapak bisa membawakan dalil juga yang shahih maka saya akan mengikuti bapak, insya Allah.”

Setelah itu kami pun berpisah. Hari demi hari ana pun menunggu jawaban dari bapak tua itu, namun tidak kunjung datang…

Dan sekarang ini, detik ini, tahukah apa yang terjadi pada bapak tua itu sekarang ini, setelah berlalu 4 atau 5 tahun?

Alhamdulillah, sekarang bapak tua itu sudah berjalan di atas manhaj Salaf. Beliau sudah banyak mendapatkan ilmu2 yang bermanfaat. Beliau juga sudah sering mengikuti kajian2 ilmiah bersama kami. Beliau sudah memanjangkan jenggotnya dan memendekkan pakaiannya di atas mata kaki. Beliau sudah banyak menghafal Al Quran dan Hadits Nabi. Beliau juga sudah banyak mendakwahi manusia ke atas manhaj Salaf. Beliau juga sudah meninggalkan amalan2 bid’ahnya yang dulu pernah dilakukannya. Dan beliau juga telah menjadi imam shalat mengimami para ikhwah di Bojonggede.

Dengan dialog tersebut akhirnya bapak tua itu mulai banyak berpikir dan semenjak itu kami sering berdialog, ditambah lagi bantuan dari ikhwah yang banyak menasehati beliau. Untungnya beliau termasuk orang yang mau menerima nasehat jika nasehat itu benar.

Namun, yang beliau hadapi sekarang sama halnya dengan ana ketika menghadapi beliau dulu, yaitu sekarang beliau menghadapi orang2 yang kritis di lingkungannya sama seperti kritisnya beliau terhadap ana dulu.

Wallahul musta’an.

Rasulullah shalallahu alaihi wasallam bersabda, “Barang siapa yang Allah kehendaki padanya kebaikan maka Allah akan pahamkan dia dalam masalah agama.” (HR: Bukhari).

Dari Abdullah bin ‘Abbas radhiallahu anhuma dia berkata:

بِتُّ فِي بَيْتِ خَالَتِي مَيْمُونَةَ فَصَلَّى رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الْعِشَاءَ ثُمَّ جَاءَ فَصَلَّى أَرْبَعَ رَكَعَاتٍ ثُمَّ نَامَ ثُمَّ قَامَ فَجِئْتُ فَقُمْتُ عَنْ يَسَارِهِ فَجَعَلَنِي عَنْ يَمِينِهِ فَصَلَّى خَمْسَ رَكَعَاتٍ ثُمَّ صَلَّى رَكْعَتَيْنِ ثُمَّ نَامَ حَتَّى سَمِعْتُ غَطِيطَهُ أَوْ قَالَ خَطِيطَهُ ثُمَّ خَرَجَ إِلَى الصَّلَاةِ

“Aku pernah menginap di rumah bibiku, Maimunah. Lalu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam pergi shalat ‘isya kemudian kembali ke rumah dan shalat sunnat empat rakaat, kemudian beliau tidur. Saat tengah malam beliau bangun dan shalat malam, aku lalu datang untuk ikut shalat bersama beliau dan berdiri di samping kiri beliau. Kemudian beliau menggeserku ke sebelah kanannya, lalu beliau shalat lima rakaat, kemudian dua rakaat, kemudian tidur hingga aku mendengar suara dengkur beliau. Setelah itu beliau kemudian keluar untuk shalat (shubuh).” (HR. Al-Bukhari no. 656)

Imam Al-Bukhari rahimahullah memberikan judul bab terhadap hadits di atas:

بَابُ: يَقُوْمُ عَنْ يَمِيْنِ الإمامِ بِحِذائِهِ سَواء إِذا كانا اثْنَيْنِ

“Bab: Makmum berdiri tepat di samping kanan imam jika mereka hanya shalat berdua.”

Berkata Atho’: “Imam yang sholat bersama seorang makmum shofnya berdampingan sejajar, (makmum) tidak mundur sedikit. Dan ini telah diriwayatkan dari Umar, Ibnu Umar, Ibnu Mas’ud dalam kitab al-Muwatho’.” [Lihat Taudhihul Ahkam 2/269]

Ibnu Utsaimin rohimahullah mengatakan: “Adapun yang dikatakan oleh para ulama bahwa sepatutnya imam agak maju sedikit, maka ini adalah pendapat yang sangat lemah, lantaran asal hukum bershof adalah sejajar, dan tidak terdapat dalil yang menjelaskan hal ini.” [Diringkas dari kaset rekaman Syarh Bulughul Maram oleh Ibnu Utsaimin dari hadits no.33]

Jika ada dua orang yang shalat di belakang imam, maka keduanya berdiri bershaf di belakang imam dalam satu shaf. Dasarnya adalah hadits Jabir radhiyallaHu ‘anHu,

“Kemudian aku datang hingga aku berdiri di samping kiri Rasulullah. Kemudian beliau meraih tanganku dan memindahkanku hingga beliau menempatkanku di sebelah kanannya. Kemudian datanglah Jabbar bin Shakhr. Ia berwudhu kemudian datang dan berdiri di samping kiri Rasulullah. Maka beliau meraih kedua tangan kami lalu mendorong kami hingga kami berdiri di belakangnya” (HR. Muslim no. 3006, Ibnu Majah no. 974 dan Ahmad III/421)

Berarti makmum yang pertama bisa mundur ke belakang atau jika tidak memungkinkan makmum untuk mundur, maka imamnya yang maju ke depan.

Sesama jenis, keduanya laki-laki atau keduanya wanita. Posisi makmum tepat persis di samping kanan imam, dan tidak bergeser sedikit ke belakang. Ini sebagaimana riwayat dari Ibnu Abbas radhiallahu ‘anha; beliau menceritakan, “Saya pernah menginap di rumah Maimunah (bibi Ibnu Abbas dan istri Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam). Ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melaksanakan shalat tahajud, aku pun menyusul beliau dan berdiri di sebelah kiri beliau. Kemudian, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memindahkanku ke sebelah kanan, sejajar.” (H.R. Bukhari dan Muslim)

- Lain jenis, imam laki-laki dan 1 makmum wanita. Posisi makmum, tepat di belakang imam, dan tidak perlu serong, baik ke kiri maupun ke kanan. Dalilnya adalah hadis dari Anas bin Malik radhiallahu ‘anhu, bahwa Nabi pernah shalat bersama Anas, “Beliau memposisikan diriku di sebelah kanan beliau, sementara ada seorang wanita yang menjadi makmum di belakang kami.” (H.R. Bukhari dan Muslim)

- Imam wanita dan para makmum wanita. Maka posisi imam sejajar dengan makmum di tengah shaf.
Dari Roithoh Al Hanafiyah, dia mengatakan:
أن عائشة أمتهن وقامت بينهن في صلاة مكتوبة

“’Aisyah dulu pernah mengimami para wanita dan beliau berdiri (sejajar) dengan mereka ketika melaksanakan shalat wajib.” (HR. ‘Abdur Rozak, Ad Daruquthniy, Al Hakim dan Al Baihaqi. An Nawawi mengatakan bahwa sanad hadits ini shahih. Namun hadits ini dilemahkan/ didho’ifkan oleh Syaikh Al Albani, namun dia memiliki penguat dari hadits Hujairoh binti Husain. Lihat Tamamul Minnah, hal. 154)
Begitu juga hal yang sama dilakukan oleh Ummu Salamah. Dari Hujairoh binti Husain, dia mengatakan:
أمتنا أم سلمة في صلاة العصر قامت بيننا

“Ummu Salamah pernah mengimami kami (para wanita) ketika shalat Ashar dan beliau berdiri di tengah-tengah kami.” (HR. Abdur Rozak, Ibnu Abi Syaibah, Al Baihaqi. Riwayat ini memiliki penguat dari riwayat lainnya dari jalur Qotadah dari Ummul Hasan).

Wallahu a’lam.

Oleh Abu Fahd  · 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar