Berkata Al Muhtadi Billah Muhammad bin Al Watsiq (anak dari sang khalifah Al Watsiq):
“Dahulu
ayahku (khalifah Al Watsiq) bila hendak membunuh seseorang, ia mengajak
kami menyaksikannya. Suatu saat dihadapkan kepadanya seorang tua yang
disemir rambutnya dalam keadaan terikat”. (Orang tua ini adalah Abu
Abdillah Ahmad bin Hambal atau Imam Ahmad bin Hambal Rahimahullah).
Ayahku
itu berkata: “Ijinkan Abu Abdillah (yaitu Ibnu Abi Duwwad, seorang
ulama dan tokoh Mu’tazilah yang menyakini bahwa Al Qur’an adalah
makhluk, kuniyahnya/julukannya sama dengan imam Ahmad) beserta para
sahabatnya untuk masuk”.
Maka masuklah orang tua itu (Imam Ahmad).
Orang tua itu berucap: “Assalamu’alaika Yaa Amiral Mukminin”. (semoga keselamatan atas dirimu).
Beliau (Al Watsiq) menjawab: “Laa Sallamallahu ‘Alaika.” (semoga Allah tidak memberikan keselamatan atas kamu).
Lelaki
itu kontan menanggapi: “Sungguh jelek cara kamu memberikn salam.
Padahal Allah Ta’ala berfirman (yang artinya): “Apabila kamu dihormati
dengan suatu penghormatan, maka balaslah penghormatan itu dengan yang
lebih baik, atau balaslah (dengan yang serupa).” (An Nisaa’ : 86).
Dan Rasulullah Shalallahu alaihi wa sallam juga memerintahkan kita membalas salam!”
Ayahku pun membalas salamnya:”Wa Alaikas salam!” balasnya, kemudian berkata kepada Ibnu Abi Duwwad: ”Tanyalah kepadanya!”
Syaikh
itu berkata: ”Wahai Amirul Mukminin, saya dalam keadaan terikat seperti
ini, saya mengerjakan shalat dalam sel penjara dengan bertayamum, saya
tidak diberi air. Lepaskanlah dahulu ikatan saya ini dan berilah saya
air agar saya dapat bersuci dan mengerjakan shalat setelah itu tanyalah
apa yang ingin ditanyakan padaku.”
Lalu ayahku memerintahkan para
pengawal agar melepas ikatannya dan memberinya air. Syaikh itupun
berwudhu lalu mengerjakan shalat. Kemudian ayahku berkata kepada Ibnu
Abi Duwad: “Tanyalah kepadanya!”
Ibnu Abi Duwwad berkomentar: “ Lelaki itu (Imam Ahmad) pandai bersilat lidah.”
Maka ayahku berkata: “Ajaklah ia bicara.”
Ibnu Abi Duwwad bertanya: “ Apa pendapatmu tentang Al Qur’an?”
Lelaki tua itu menjawab: “Dia tidak bersikap adil terhadapku. Aku yang seharusnya bertanya.”
Ayahku (Al Watsiq) berkata: “Tanyalah ke Ibnu Abi Duwwad.”
Lelaki itu bertanya: “Apa pendapatmu tentang Al Qur’an?”
Ibnu Abi Duwwad menjawab: “ Al Qur’an itu makhluk (bukan kalam Illahi)!”
Syaikh
(lelaki tua) itu bertanya lagi: “Apakah ucapan itu adalah sesuatu yang
sudah diketahui oleh Rasulullah Shalallahu Alaihi wasallam, Abu Bakar,
Umar dan Al Khulafa’ Ar Rasyidun yang lain atau belum?”
Ibnu Abi Duwwad menjawab: ”Belum.”
Lelaki itu berkata: “Maha Suci Allah, sesuatu (masalah agama) yang tidak diketahui Nabi, namun kamu mengetahuinya?!”
Ibnu Abi Duwwad menjadi malu. Lalu ia berkata: “Beri aku kesempatan lagi!”
Lelaki tua itu berkata lagi: “Pertanyaannya tetap sama.”
Ibnu Abi Duwwad menjawab: “Ya, mereka telah mengetahuinya.”
Lelaki tua itu bertanya lagi: “Mereka mengetahuinya, namun tidak mendakwahkannya kepada manusia?”
Ibnu Abi Duwwad menjawab: “Iya”.
Lelaki tua itu bertanya lagi: “Apakah yang cukup mereka lakukan tidak cukup bagimu?”
Syaikh
itu berkata lagi : “Suatu perkara yang tidak didakwahkan oleh
Rasulullah Shalallahu alaihi wa sallam ,tidak pula Abu Bakar, Umar,
Utsman dan Ali radhiallahu anhum, lalu Anda mendakwahkannya kepada umat
manusia?? Tidak bisa tidak Anda harus berkata: ”Mereka (Para shahabat)
mengetahuinya atau mereka tidak mengetahuinya”. Jika Anda katakan
:”Mereka mengetahuinya! Namun mereka tidak menyuarakannya, maka cukuplah
bagi kita semua apa yang telah cukup bagi mereka, yaitu tidak
menyuarakannya!! Jika Anda katakan: ”Mereka tidak mengetahuinya! Tetapi
sayalah yang mengetahuinya! Maka sungguh celaka Anda ini!! Rasulullah
Shalallahu alaihi wa sallam dan para khulafaur Rasyidin radhiallahu
anhum tidak mengetahuinya sementara Anda dan rekan-rekan Anda
mengetahuinya!!”
Al Muhtadi berkata: ”Saya lihat ayahku langsung
berdiri dan masuk ke dalam taman, ia tertawa sambil menutup wajahnya
dengan bajunya dan berkata: ”Benar juga, tidak bisa tidak, kita harus
mengatakan: ”Mereka mengetahuinya atau mereka tidak mengetahuinya”. Jika
kita katakan: ”Mereka mengetahuinya! Namun mereka tidak menyuarakannya,
maka cukuplah bagi kita semua apa yang telah cukup bagi mereka, yaitu
tidak menyuarakannya! Jika kita katakan: “Mereka TIDAK mengetahuinya!
Andalah yang mengetahuinya, maka sungguh celaka kita ini!! Rasulullah
Shalallahu alaihi wa sallam dan para Khulafaur Rasyidin radhiallahu
anhum tidak mengetahuinya sementara Anda dan rekan Anda mengetahuinya?!”
Kemudian ayahku berkata: ”Hai Ahmad!”
“Laabaika! Jawabnya.
“Bukan kamu yang saya maksud,tapi Ahmad bin Abi Duwad! sahut ayahku.
Maka Ibnu Abi Duwad pun segera mendatanginya, ayahku berkata: ”Berilah Syaikh ini nafkah dan keluarkanlah dari negeri kita!”
[Dalam
riwayat as Siyaar: ”Beliau lalu menyuruh orang membuka ikatan lelaki
tua itu dan memberikan kepadanya 400 dinar,lalu mengijinkannya pulang.
Semenjak itu Ibnu Abi Duwad dipandang sebelah mata (jatuh pamor) oleh
Khalifah Al Watsiq, dan setelah itu ayahku tidak pernah menguji orang
dengan keyakinan sesat tersebut.]
Dalam riwayat lain: Al Muhtadi
berkata: sayapun insyaf dari keyakinan sesat tersebut dan saya kira
semenjak saat itu ayah sayapun insyaf darinya”
(Imam Adz Dzahabi
meriwayatkan kisah ini dari Al Muhtadi Billah Muhammad bin Al Watsiq,
anak sang khalifah Al Watsiq di kitabnya Siyaru A’laamin Nubalaa’ juz XI
:312)
EPISODE SEBELUMNYA:
Berkata Sulaiman bin
‘Abdillah As Sijziy : “Saya pernah mendatangi pintu gerbang kediaman Al
Mu’tashim –Billah-, dan waktu itu banyak orang yang berdesakan didepan
gerbang kediamannya, bagaikan hari Besar/Ied. Maka sayapun bergegas
memasuki kediaman-nya, dan terlihat olehku hamparan permadani dan
singgasana yang diletakkan diatasnya. Lantas sayapun berdiri di salah
satu sisi singgasana itu. Sewaktu saya telah berdiri, datanglah Al
Mu’tashim lalu duduk diatas singgasananya. Dan ia melepaskan sebuah
sandalnya dan meletakkan salah satu kakinya diatas kaki lainnya, lalu ia
berkata : “Datangkan Ahmad bin Hanbal!”. Maka didatangkanlah beliau.
Sewaktu beliau telah dihadapkan didepan Al Mu’tashim, beliau mengucapkan
salam kepadanya.
Berkatalah Al Mu’tashim kepada beliau : “Wahai Ahmad berbicaralah dan jangan takut”.
Imam
Ahmad bin Hanbal berujar : “Demi Allah! Wahai Amirul Mu’minin, saya
telah menghadap kepada engkau, dan tiada sedikitpun walau sebesar biji
didalam hati ku rasa takut”.
Berkata Al Mu’tashim : “Bagaimanakah pendapatmu tentang Al Qur’an?”
Imam Ahmad menjawab : “Kalamullah, sifat yang terdahulu pada dzat Allah dan bukanlah makhluk. Firman Allah –’azza wajalla-
( وَ إِنْ أَحَدٌ مِنْ المُشْرِكِيْنَ اسْتَجَارَكَ فَاَجِرْهُ حَتَّى يَسْمَعَ كَلاَمَ اللهِ )
“Dan
jika salah seorang dari kalangan musyrikin berada disampingmu, maka
beradalah disampingnya hingga ia mendengarkan Kalamullah”
Berkata Al Mu’tashim kepada beliau : “Adakah hujjah yang engkau ketahui selainnya?”
Berkata Imam Ahmad : “Masih, wahai Amirul Mu’minin, firman Allah;
( الرَّحْمَنُ عَلَّّمَ القُرْآنَ )
“Ar Rahman dialah Dzat yang mengajarkan Al Qur’an )”
Dan Allah tidak berfirman : (Ar Rahman yang menciptakan Al Qur’an)
Dan firman Allah –’azza wajalla- ;
( يَس وَالقُرْآنِ الحَكِيْمِ )
“Yasiin. Demi Al Qur’an yang Hakiim”
Dan Allah tidaklah berfirman : (yasiin. Demi Al Qur’an yang dia itu makhluq)
Berkata Al Mu’tashim : “Kalian penjarakanlah ia !”.
Maka
beliau dipenjarakan, dan akhirnya orang-orang pada berpencar. Keesokan
harinya saya-pun menuju kekediaman Al Mu’tashim. Orang-orang telah
dipersilahkan memasuki kediamannnya, dan saya pun masuk bersama dengan
mereka. Dan Al Mu’tashim pun datang dan segera duduk di singgasananya.
Ia berkata : “Datangkan kemari Ahmad bin Hanbal!”
Maka
dihadapkanlah Imam Ahmad bin Hanbal, sewaktu beliau telah berada
dihadapan Al Mu’tashim, berkata Al Mu’tashim kepada beliau : “Bagaimana
keadaanmu semalam wahai Ahmad di tempat peristirahatan engkau?”
Beliau
menjawab : “Dalam keadaan baik Alhamdulillah, hanya saja wahai Amirul
Mu’minin saya mendapati hal yang mengherankan ditempat
peristirahatanku”.
Berkata Al Mu’tashim kepada beliau : “Apa yang engkau dapati?”.
Berkata
Imam Ahmad : “Saya malam itu terbangun, lalu bergegas berwudhu’ untuk
melaksanakan sholat, dan saya pun melaksanakan sholat dua raka’at. Pada
raka’at pertama saya membaca ; ( الحَمْدُ لِلهِ ) dan ( قُلْ أَعُوْذُ
بِرَبِّ النَّاسِ ) dan pada raka’at kedua saya membaca ; ( الحَمْدُ للهِ
) dan (قُلْ أَعُوْذُ بِرَبِّ الفَلَقِ ) lalu saya duduk dan bertasyahud
hingga saya salam. Setelah itu saya melanjutkannya untuk sholat, lalu
saya bertakbir dan membaca; ( الحَمْدُ للهِ ) dan ketika saya
berkehendak membaca ( قُلْ هُوَ اللهُ أَحَد ) tidaklah saya sanggup
melakukannya, lantas saya mencoba membaca ayat selainnya dari bacaan Al
Qur’an dan sayapun tidak sanggup. Maka saya hamparkan pandanganku setiap
sudut penjara, dan ternyata saya dapati di salah satu sudutnya Al
Qur’an tergeletak telah meninggal, maka saya memandikannya dan saya
kafani setelah itu saya shalati dan menguburkannya”.
Berkata Al Mu’tashim kepada beliau : “Celakalah engkau wahai Ahmad! Al Qur’an meninggal?”.
Berkata
Imam Ahmad kepadanya : “Demikian juga halnya denganmu, engkau
mengatakan: “Bahwa Al Qur’an makhluk dan setiap makhluk tentulah akan
meninggal”.
Berkatalah Al Mu’tashim : “Ahmad telah memojokkan kami, Ahmad telah memojokkan kami!”.
Berkata Ibnu Abi Duwad dan Bisyr Al Mirrisiy : “Bunuhlah ia, agar kita terbebas darinya”.
Berkata
Al Mu’tashim : “Sungguhlah saya bersumpah kepada Allah tidak akan saya
membunuhnya dengan pedang dan tidak juga menyuruh seorangpun membunuhnya
dengan pedang”.
Berkata Ibnu Abi Duwad kepada Amirul Mu’minin : “Deralah dia dengan cambuk!”.
Berkata Al Mu’tashim : “Baiklah”, Lalu Ia berkata : “Datangkanlah para tukang dera!”.
Maka
didatangkanlah mereka. Lantas berkata Al Mu’tashim kepada salah seorang
dari mereka : “Berapa kali cambukan engkau dapat membunuhnya?”. Ia
menyahut : “Sepuluh kali wahai Amirul Mu’minin”.
Berkatalah Al Mu’tashim : “Ambillah ia bagimu”.
Berkata
Sulaiman As Sijzi : “Maka ditanggalkanlah pakaian Imam Ahmad bin
Hanbal, dan tinggallah beliau hanya mengenakan sarung dari kain katun,
dan kedua tangan beliau diikat dengan dua tali yang masih baru. Lalu
Algojo itu mengambil cambuk pada kedua tangannya sembari berkata :
“Apakah saya boleh memulai mencambuknya, Amirul Mu’minin?”.
Berkata Al Mu’tashim : “Cambuklah ia!”. Lalu Algojo itu mencambuk Imam Ahmad…
(Ath Thabaqat 1/ 163 – 167 dan juga 1/ 335 – 336). ·
Tidak ada komentar:
Posting Komentar