Suatu malam di kuburan…
Ikhwan : “Lho…koq kita malah kemari?”
Quburiyyun : “Iya…mampir sebentar. Ada sedikit keperluan?”
Ikhwan : “Ada keperluan apa di kuburan malam2 begini?…”
Quburiyyun : “Besok kita kan mau pergi safar mendaki gunung, jadi kita perlu ziarah kemari.”
Ikhwan : “Memang apa hubungannya pergi safar dengan ziarah kubur?”
Quburiyyun : “Ya ada. Supaya kepergian kita nanti lebih selamat dan dimudahkan Allah.”
Ikhwan
: “Wah tidak boleh itu. Kalau ingin selamat dan dimudahkan kenapa tidak
berdoa langsung kepada Allah? Kenapa harus ada acara ziarah kubur?”
Quburiyyun : “Ziarah kubur itu dianjurkan dalam Islam, banyak dalilnya. Jangan seperti Wahhabi yang melarang ziarah kubur.”
Ikhwan
: “Memang ziarah kubur dianjurkan dalam Islam dan banyak dalilnya.
Lagipula Wahhabi tidak mutlak melarang ziarah kubur. Yang dilarang
adalah ziarah kubur yang menyelisihi syariat.”
Quburiyyun : “Seperti apa ziarah kubur yang syar’i?”
Ikhwan
: “Kita sebatas mengucapkan salam kepada penghuni kubur dan
mendoakannya, selain itu untuk mengingatkan kita kepada kematian.”
Quburiyyun : “Nah…saya juga seperti itu ziarah kuburnya. Jadi ziarah saya ini sesuai syar’i. Jadi kenapa kamu melarang?”
Ikhwan
: “Bukankah kamu tadi mengatakan bahwa niatmu ziarah kubur disini
supaya kepergian kita besok bisa lebih selamat dan dimudahkan Allah?”
Quburiyyun : “Iya, bukankah itu termasuk dari mendoakan juga? apa yang salah?”
Ikhwan
: “Berarti kamu meminta keselamatan dan kemudahan kepada orang yang
sudah mati atau penghuni kubur ini. Perbuatan seperti itu adalah
perbuatan syirik, karena meminta keselamatan dan kemudahan kepada selain
Allah. Bukankah yang bisa memberikan keselamatan dan kemudahan hanyalah
Allah?”
Quburiyyun : “Saya tidak meminta keselamatan dan
kemudahan kepada penghuni kubur ini. Saya juga tahu bahwasanya hanya
Allah yang mampu memberikan keselamatan dan kemudahan.”
Ikhwan :
“Kalau kamu mengetahuinya, lantas kenapa harus mendatangi kuburan ini?
Kenapa tidak berdoa langsung kepada Allah di rumah atau di masjid?”
Quburiyyun
: “Saya hanya bertawassul (menjadikan wasilah/perantara) kepada
penghuni kuburan ini. Karena pemiliki kuburan ini adalah orang shalih
atau wali Allah. Saya meminta kepada penghuni kubur ini agar mendoakan
saya kepada Allah. Saya tidak meminta langsung kepada penghuni kubur
ini, tapi hanya menjadikan dia sebagai perantara saja.”
Ikhwan :
“Kenapa kamu menjadikan orang yang sudah mati sebagai perantara?
Bukankah dia tidak bisa berbuat apa2 lagi sekarang? Ketika orang ini
masih hidup, dia tidak mampu memberi kamu keselamatan, apalagi ketika
dia telah meninggal? Lebih tidak mampu lagi. Hanya Allah yang mampu
memberi keselamatan dan atas izin-Nya.”
Quburiyyun : “Kamu jangan
berkata seperti itu, penghuni kubur ini adalah orang shalih, nanti kamu
bisa kualat jika berkata seperti itu! Wali Allah itu tidak sama dengan
orang biasa.”
Ikhwan : “Berdoalah kepada Allah secara langsung
tanpa melalui perantara kepada orang yang sudah mati. Allah Subhanahu wa
Ta’ala berfirman: ‘Dan Rabbmu berfirman: ”Berdo’alah kepada-Ku,niscaya
akan Ku-perkenankan bagimu.’ (QS. Al-Mukmin : 60)”
Quburiyyun :
“Kamu telah keliru dalam memahami makna tawassul. Sesungguhnya bila ada
salah seorang diantara kita mempunyai urusan dengan seorang Raja atau
Penguasa atau Menteri yang memiliki kedudukan yang sangat besar, maka ia
tidak mungkin menghadap kepadanya secara langsung, karena ia merasa
tidak akan diperhatikan nantinya. Makanya kita mencari seorang yang
dikenal oleh Raja tersebut, yang dekat dengannya, yang didengar olehnya,
lalu kita jadikan dia sebagai perantara antara kita dengan Raja atau
Penguasa itu. Dengan begitu, niscaya urusan kita akan diperhatikan oleh
Raja. Begitu juga halnya antara saya dengan orang shalih tersebut, yang
mana orang shalih itu adalah perantara saya dalam meminta kepada Allah.”
Ikhwan
: “Astaghfirullah…Tidakkah kamu tahu? Bahwa sesungguhnya kamu baru saja
menyamakan Allah dengan makhluk-Nya! Bahkan menyamakan Allah dengan
makhluk-Nya yang zhalim dan keji! Wal iyadzubillah…”
Quburiyyun :
“Maksudnya? Saya tidak ada menyamakan Allah dengan makhluk-Nya?! Saya
hanya mengambil qiyas agar kamu bisa paham maksud saya.”
Ikhwan :
“Yang kamu qiyaskan adalah sama saja dengan menyamakan atau
menyerupakan Allah, Dzat Yang Maha Mengurus langit dan bumi, Hakim Yang
Maha Adil dan Bijaksana, dan Rabb Yang Maha Penyantun dan Penyanyang,
disamakan dengan Raja atau Penguasa yang zhalim, diktator, sewenang2,
dan tidak memperhatikan kemaslahatan rakyatnya, yang mana mereka telah
menjadikan antara dirinya dan rakyatnya dengan tirai pemisah dan
pengawal, sehingga rakyatnya tidak mungkin menghadap Rajanya kecuali
dengan perantara atau sarana, bahkan sering didapati dengan suap
menyuap!
Sekiranya seseorang menghadap seorang penguasa secara
langsung, berbicara dengannya tanpa perantara atau pengawal, apakah hal
itu menjadi sikap yang lebih sempurna dan lebih terpuji baginya, ataukah
ketika ia menghadapnya dengan cara perantara yang kemungkinan butuh
waktu yang terkadang panjang dan terkadang pendek?”
Quburiyyun : (diam sambil nelan ludah)
Ikhwan
: “Kamu bangga dengan Khalifah Umar bin Al Khaththab bukan? Salah satu
kebanggaan kalian adalah beliau sangat dekat dengan rakyatnya, sehingga
orang yang miskin atau lemah, bahkan yang ndeso sekalipun mampu bertemu
secara langsung dan bercakap2 dengan beliau, tanpa harus ada perantara
atau pengawal. Maka perhatikanlah, apakah penguasa yang seperti ini
lebih baik dan lebih utama ataukah penguasa yang menjadi acuan qiyas
kamu terhadap Allah yang harus melalui perantara? Menyerupakan Allah
dengan makhluk-Nya yaitu Penguasa yang adil saja sangat dilarang,
apalagi menyerupakan Allah dengan Penguasa yang zhalim, jahat atau
buruk?!”
Quburiyyun : “Bukankah tidak ada dalil yang melarang
bertawassul kepada orang yang sudah mati? Jika hal itu dilarang, mana
dalilnya?”
Ikhwan : “Tawassul merupakan bentuk ibadah, jadi
segala macam bentuk ibadah itu harus disertai dalil. Ada kaidah yang
menjelaskan bahwa hukum asal ibadah itu terlarang, sampai ada dalil yang
memerintahkannya. Seperti halnya shalat zhuhur 5 rakaat, apakah ada
dalil yang melarang shalat zhuhur 5 rakaat? Jika tidak ada, apakah boleh
shalat zhuhur sebanyak 5 rakaat?”
Quburiyyun : “Baiklah…tapi
dengarkan…Sudah banyak kejadian, dan ini nyata, tidak dusta! Yaitu
banyak orang yang datang ke kuburan ini kemudian bertawassul kepada
penghuni kubur ini, lalu tidak lama kemudian doanya dikabulkan oleh
Allah. Dan ini benar2 terjadi! Sehingga semakin banyak orang yang
mendatangi kuburan ini kemudian doa2 mereka banyak yang terkabul.
Seandainya tawassul seperti itu salah, lantas kenapa Allah mengabulkan
doa2 mereka?”
Ikhwan : “Terkabulnya doa seperti itu adalah ujian
dari Allah untuk orang tersebut, dan bukan berarti perbuatan tersebut
merupakan tolak ukur kebenaran, apalagi jika orang2 menyangka ini semua
karena sebab penghuni kubur ini yang memiliki keutamaan dan karamah.
Tidak seperti itu…itu adalah pemahaman yang keliru!
Yang perlu kamu
ketahui juga, bahwa Allah juga memberikan ujian kepada hamba-Nya dengan
cara memudahkan kemaksiatan untuknya. Dan ini adalah suatu perkara yang
terjadi pada umat2 terdahulu dan juga pada umat ini.”
Quburiyyun : “Maksudnya? saya belum paham…”
Ikhwan
: “Saya kasih contoh…Salah satu ujian dari Allah dengan cara memberikan
kemudahan dalam bermaksiat adalah seperti kisahnya Bani Israil yang
melanggar aturan pada hari Sabtu (lihat surah Al A’raf: 163). Allah
mengharamkan Bani Israil untuk memancing ikan pada hari Sabtu, dan
mereka tetap dalam kondisi seperti itu beberapa waktu lamanya. Kemudian
Allah menguji mereka dengan adanya ikan2 besar pada hari Sabtu, ikan2
besar itu muncul dengan sangat banyak kepermukaan laut pada hari Sabtu,
sedangkan di hari lainnya tidak mereka dapati. Maka Bani Israil membuat
tipu daya dan strategi. Mereka kemudian meletakkan jala dan memasangnya
pada hari jumat, lalu jika ikan2 itu muncul pada hari Sabtu pastilah
ikan2 itu akan terperangkap dan mereka tidak akan bisa keluar dari jala
itu. Dan bila hari Ahad tiba, maka mereka pergi mengambil jala tersebut
dan mendapatkan banyak ikan di dalamnya. Dengan tipu daya mereka
akhirnya Allah mengadzab mereka dengan merubahnya menjadi kera. Begitu
halnya dengan doa2 mereka yang dikabulkan oleh Allah karena tawassulnya
kepada orang yang sudah mati. Allah sengaja memberikan ujian kepada
mereka dengan memberikan kemudahan dalam bermaksiat, hingga tiba
waktunya datang adzab dari Allah. Wallahul musta’an.”
Quburiyyun :
“Astaghfirullah…Lantas bagaimana halnya dengan dalil2 yang menyebutkan
tentang bolehnya tawassul kepada orang yang sudah mati? Banyak sekali
dalilnya bukan?”
Ikhwan : “Ada waktu tersendiri untuk membahas
dalil2 tersebut, dan itu butuh waktu yang luang dan panjang. Intinya,
seluruh dalil yang dipakai oleh orang-orang yang membolehkan tawassul
dengan orang yang telah mati, ada dua kemungkinan:
a) Dalil itu lemah, atau
b) Dalil itu shahih, tetapi difahami dengan keliru. ·
Tidak ada komentar:
Posting Komentar