Tawassul
yang disyariatkan adalah tawassul yang diperintahkan oleh Allah
Subhanahu wa Ta’ala dalam al-Quran (dalam ayat tersebut di atas) dan
dijelaskan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, serta
diamalkan oleh para shahabatradhiallahu ‘anhum (lihat kitab Kaifa
Nafhamut Tawassul, hal. 4). Yaitu ber-tawasssul kepada Allah Subhanahu
wa Ta’ala dengan sarana yang dibenarkan (dalam agama Islam) dan
menyampaikan kepada tujuan yang diinginkan (mendekatkan diri kepada
Allah Subhanahu wa Ta’ala) [Kutubu wa Rasa-il syaikh Muhammad bin Shaleh
al-‘Utsaimin (79/1)].
Tawassul ini ada beberapa macam:
A-
Tawassul dengan nama-nama Allah Subhanahu wa Ta’ala yang Mahaindah,
inilah yang diperintahkan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala dalam
firman-Nya,
وللهِ الأسْمَاءُ الْحُسْنَى فَادْعُوهُ بِهَا
“Dan
Allah mempunyai al-asma-ul husna (nama-nama yang Mahaindah), maka
berdoalah kepada-Nya dengan menyebut al-asma-ul husna itu.” (QS.
al-A’raaf: 180).
Artinya: berdoalah kepada-Nya dengan menyebut
nama-nama-Nya yang Mahaindah sebagai wasilah (sarana) agar doa tersebut
dikabulkan-Nya (lihat kitab At-Tawassulu Anwaa’uhu wa Ahkaamuhu, hal.
32).
Tawassul ini disebutkan dalam banyak hadits yang shahih, di
antaranya dalam doa yang diajarkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wa sallam bagi orang yang ditimpa kesedihan dan kegundahan, “Aku memohon
kepada-Mu (ya Allah) dengan semua nama (yang Mahaindah) yang Engkau
miliki, yang Engkau namakan diri-Mu dengannya, atau yang Engkau ajarkan
kepada salah seorang dari hamba-Mu, atau yang Engkau turunkan dalam
kitab-Mu, atau yang Engkau khususkan (bagi diri-Mu) pada ilmu gaib di
sisi-Mu, agar Engkau menjadikan al-Quran sebagai penyejuk hatiku, cahaya
(dalam) dadaku, penerang kesedihanku dan penghilang kegundahanku.” [HR.
Ahmad (1/391), Ibnu Hibban (no. 972) dan al-Hakim (no. 1877),
dinyatakan shahih oleh Ibnu Hibban, al-Hakim, Ibnul Qayyim dalam
Syifa-ul ‘Aliil (hal. 274) dan Syaikh al-Albani dalam Ash-Shahiihah (no.
199)].
B- Tawassul dengan sifat-sifat-Nya yang maha sempurna, sebagaimana doa Nabi Sulaiman ‘alaihissalam dalam al-Quran,
وَأَدْخِلْنِي بِرَحْمَتِكَ فِي عِبَادِكَ الصَّالِحِين
“Dan masukkanlah aku dengan rahmat-Mu ke dalam golongan hamba-hamba-Mu yang shaleh.” (QS. an-Naml: 19).
Juga
dalam doa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Ya Allah, dengan
pengetahuan-Mu terhadap (hal yang) gaib dan kemahakuasaan-Mu untuk
menciptakan (semua makhluk), tetapkanlah hidupku selama Engkau
mengetahui kehidupan itu baik bagiku, dan wafatkanlah aku jika selama
Engkau mengetahui kematian itu baik bagiku.” [HR. an-Nasa-i (no. 1305
dan 1306), Ahmad (4/264) dan Ibnu Hibban (no. 1971), dinyatakan shahih
oleh Imam Ibnu Hibban dan Syaikh al-Albani].
C- Tawassul dengan beriman kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala, sebagaimana doa hamba-hamba-Nya yang shaleh dalam al-Quran,
رَبَّنَا
إِنَّنَا سَمِعْنَا مُنَادِيًا يُنَادِي لِلإيمَانِ أَنْ آمِنُوا
بِرَبِّكُمْ فَآمَنَّا رَبَّنَا فَاغْفِرْ لَنَا ذُنُوبَنَا وَكَفِّرْ
عَنَّا سَيِّئَاتِنَا وَتَوَفَّنَا مَعَ الأبْرَارِ
“Wahai Rabb
kami, sesungguhnya kami mendengar (seruan) yang menyeru kepada iman,
(yaitu), ‘Berimanlah kamu kepada Rabb-mu.’; maka kamipun beriman. Wahai
Rabb kami, ampunilah dosa-dosa kami dan hapuskanlah dari kami
kesalahan-kesalahan kami, dan wafatkanlah kami beserta orang-orang yang
berbakti.” (QS. Ali ‘Imran: 193).
D- Tawassul dengan kalimat tauhid, sebagaimana doa Nabi Yunus ‘alaihissalam dalam al-Quran,
وَذَا
النُّونِ إِذْ ذَهَبَ مُغَاضِبًا فَظَنَّ أَنْ لَنْ نَقْدِرَ عَلَيْهِ
فَنَادَى فِي الظُّلُمَاتِ أَنْ لا إِلَهَ إِلَّا أَنْتَ سُبْحَانَكَ
إِنِّي كُنْتُ مِنَ الظَّالِمِينَ. فَاسْتَجَبْنَا لَهُ وَنَجَّيْنَاهُ
مِنَ الْغَمِّ وَكَذَلِكَ نُنْجِي الْمُؤْمِنِينَ
“Dan (ingatlah
kisah) Dzun Nun (Yunus), ketika ia pergi dalam keadaan marah, lalu ia
menyangka bahwa Kami tidak akan mempersempitnya (menyulitkannya), maka
ia menyeru (berdoa kepada Allah) di kegelapan, ‘Laa ilaaha illa anta
(Tidak ada sembahan yang benar selain Engkau), Maha Suci Engkau,
sesungguhnya aku adalah termasuk orang-orang yang zalim.’ Maka Kami
memperkenankan doanya dan menyelamatkannya daripada kedukaan. Dan
demikanlah Kami selamatkan orang-orang yang beriman.” (QS. al-Anbiyaa’:
87-88).
Dalam hadits yang shahih, Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wa sallam menjamin pengabulan doa dari Allah Subhanahu wa Ta’ala bagi
orang yang berdoa kepada-Nya dengan doa ini (HR. at-Tirmidzi, no. 3505
dan Ahmad, 1/170, dinyatakan shahih oleh Syaikh al-Albani).
E- Tawassul dengan amal shaleh, sebagaimana doa hamba-hamba Allah Subhanahu wa Ta’ala yang shaleh dalam al-Quran,
رَبَّنَا آمَنَّا بِمَا أَنزلْتَ وَاتَّبَعْنَا الرَّسُولَ فَاكْتُبْنَا مَعَ الشَّاهِدِينَ
“Wahai
Rabb kami, kami beriman kepada apa (kitab-Mu) yang telah Engkau
turunkan dan kami mengikuti (petunjuk) rasul, karena itu masukkanlah
kami ke dalam golongan orang-orang yang menjadi saksi (tentang tauhid
dan kebenaran agama-Mu).” (QS. Ali ‘Imran: 53).
Demikian pula
yang disebutkan dalam hadits yang shahih, kisah tentang tiga orang
shaleh dari umat sebelum kita, ketika mereka melakukan perjalanan dan
bermalam dalam sebuah gua, kemudian sebuah batu besar jatuh dari atas
gunung dan menutupi pintu gua tersebut sehingga mereka tidak bisa
keluar, lalu mereka berdoa kepada Allah dan ber-tawassul dengan amal
shaleh yang pernah mereka lakukan dengan ikhlas kepada Allah, sehingga
Allah Subhanahu wa Ta’ala kemudian menyingkirkan batu tersebut dan
merekapun keluar dari gua tersebut [Hadits shahih riwayat al-Bukhari
(no. 2152) dan Muslim (no. 2743)].
F- Tawassul dengan
menyebutkan keadaan dan ketergantungan seorang hamba kepada Allah
Subhanahu wa Ta’ala, sebagaimana dalam doa Nabi Musa ‘alaihissalam dalam
al-Quran,
رَبِّ إِنِّي لِمَا أَنزلْتَ إِلَيَّ مِنْ خَيْرٍ فَقِيرٌ
“Wahai Rabb-ku, sesungguhnya aku sangat membutuhkan sesuatu kebaikan yang Engkau turunkan kepadaku.” (QS. al-Qashash: 24).
Juga doa Nabi Zakaria ‘alaihissalam,
رَبِّ
إِنِّي وَهَنَ الْعَظْمُ مِنِّي وَاشْتَعَلَ الرَّأْسُ شَيْبًا وَلَمْ
أَكُنْ بِدُعَائِكَ رَبِّ شَقِيًّا. وَإِنِّي خِفْتُ الْمَوَالِيَ مِنْ
وَرَائِي وَكَانَتِ امْرَأَتِي عَاقِرًا فَهَبْ لِي مِنْ لَدُنْكَ وَلِيًّا
“Wahai
Rabb-ku, sesungguhnya tulangku telah lemah dan kepalaku telah ditumbuhi
uban, dan aku belum pernah kecewa dalam berdoa kepada Engkau, wahai
Rabb-ku. Dan sesungguhnya aku khawatir terhadap mawaliku sepeninggalku,
sedang isteriku adalah seorang yang mandul, maka anugerahilah aku dari
Engkau seorang putera.” (QS. Maryam: 4-5).
G- Tawassul dengan doa orang shaleh yang masih hidup dan diharapkan terkabulnya doanya.
Sebagaimana yang dilakukan oleh para shahabat radhiallahu ‘anhum di
masa hidup Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, seperti perbuatan
seorang Arab dusun yang meminta kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam agar berdoa kepada Allah Ta’ala memohon diturunkan hujan, ketika
beliau sedang berkhutbah hari Jumat, lalu Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam berdoa meminta hujan, lalu hujanpun turun sebelum
beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam turun dari mimbar [Hadits shahih
riwayat al-Bukhari (no. 968) dan Muslim (no. 897)].
#tawassul #syirik #ibadah #sunnah #rasulullah ·
Tidak ada komentar:
Posting Komentar