Kebenaran
mutlak datang hanya dari Allah azza wa jalla. Oleh karena itu, al haq
tidak diambil kecuali dengan petunjuk kitab Allah azza wa jalla dan
Sunnah Rasul shallallahu ‘alaihi wasallam. Dan sepantasnya orang-orang
yang sudah menerima al haq, hendaknya mereka menerima dan mengikutinya.
Namun,
umumnya manusia tidak perduli terhadap kebenaran, tidak mau mencarinya
dan tidak menelitinya. Sehingga mereka berkubang di dalam kesesatan
dengan sadar atau tanpa sadar. Allah azza wa jalla berfirman, yang
artinya, “Apakah mereka mengambil sesembahan-sesembahan selain-Nya?
Katakanlah, ‘Tunjukkanlah hujjahmu! (al Qur’an) ini adalah ;peringatan
bagi orang-orang yang bersamaku, dan peringatan bagi orang-orang yang
sebelumku.” Sebenarnya kebanyakan mereka tiada mengetahui yang hak,
karena itu mereka berpaling.” [QS.al Anbaiya’/21:24]
Syaikh
‘Abdurrahman bin Nashir as Sa’di rahimahullah berkata, “Mereka tidak
mengetahui kebenaran bukan karena kebenaran itu samar dan tidak jelas.
Namun karena mereka berpaling darinya. Jika mereka tidak berpaling dan
mau memperhatikannya, niscaya kebenaran menjadi jelas bagi mereka dari
kebatilan, dengan kejelasan yang nyata dan gamblang.” [2]
Oleh
karena itu, jangan sekali-kali seorang Muslim menolak kebenaran.
Siapapun pembawanya. Karena menolak kebenaran itu merupakan sifat
kesombongan yang dibenci Allah azza wa jalla. Nabi shallallahu ‘alaihi
wasallam bersabda:
“Tidak akan masuk surga orang yang ada di
dalam hatinya ada kesombongan seberat biji sawi. Seorang laki-laki
bertanya, ‘Ada seseorang yang suka bajunya bagus dan sandalnya bagus
(apakah termasuk kesombongan?) Beliau shallallahu ‘alaihi wasallam
menjawab, “Sesungguhnya Allah Maha indah dan menyukai keindahan.
Kesombongan adalah menolak kebenaran dan merendahkan manusia.”
[HR.Muslim no.2749, dari ‘Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ‘anhu]
Imam
Nawawi rahimahullah berkata, “Adapun ‘menolak kebenaran’ yaitu
menolaknya dan mengingkarinya dengan menganggap dirinya tinggi dan
besar.” [3]
Imam Ibnul Atsir rahimahullah berkata tentang makna
‘menolak kebenaran’, yaitu menyatakan bathil terhadap perkara yang telah
Allah azza wa jalla tetapkan sebagai kebenaran, seperti mentauhidkan-Ny
dan beribadah kepada-Ny. Ada yang mengatakan, maknanya adalah
menzhalimi kebenaran. Dan ada yang mengatakan, makanya adalah merasa
besar terhadap kebenaran, yaitu tidak menerimanya.” [4]
Seorang
Muslim jangan menyerupai orang-orang Yahudi. Mereka mengetahui
kebenaran, namun tidak mengikutinya, Allah azza wa jalla berfirman
tentang orang-orang Yahudi Madinah yang enggan beriman kepada Nabi
Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam:
“Dan setelah datang kepada
mereka (orang-orang Yahudi) al Qur’an dari Allah yang membenarkan apa
yang ada pada mereka. Padahal sebelumnya mereka biasa memohon
(kedatangan Nabi) untuk mendapat kemenangan atas orang-orang, maka
setelah datang kepada mereka apa yang telah mereka ketahui, mereka lalu
ingkar kepadanya. Maka laknat Allah-lah atas orang-orang yang ingkar
itu.” [QS.al Baqarah/2:89]
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah
rahimahullah berkata, “Allah azza wa jalla menyifati orang-orang Yahudi
bahwa mereka dahulu mengetahui kebenaran sebelum munculnya Nabi
shallallahu ‘alaihi wasallam yang berbicara dengan kebenaran dan
mendakwahkannya. Namun, setelah Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam datang
kepada mereka, beliau berbicara dengan kebenaran. Karena beliau bukan
dari kelompok yang mereka sukai, maka mereka pun tidak tunduk kepada
beliau, dan mereka tidak menerima kebenaran kecuali dari kelompok
mereka. Padahal, mereka tidak mengikuti perkara yang diwajibkan oleh
keyakinan mereka.” [5]
Inilah di antara sifat-sifat buruk
orang-orang Yahudi. Mereka tidak mau menerima kebenaran kecuali dari
kelompok mereka saja. Rupanya, sifat seperti ini menjalar di kalangan
ahli bid’ah dulu dan sekarang, mereka tidak mau menerima kebenaran
kecuali dari kelompoknya saja, atau buku-bukunya saja, atau guru-gurunya
saja. Wallahul Mus’taan.
Sesungguhnya kebenaran itu tetap
diterima walaupun datangnya dari orang kafir. Nabi shallallahu ‘alaihi
wasallam telah mencontohkan hal ini di dalam beberapa hadits beliau.
Antara lain hadits berikut ini. ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha berkata:
“Dua
nenek Yahudi Madinah masuk menemuiku, keduanya mengatakan sesuatu
kepadaku, “Sesungguhnya orang-orang yang berada di dalam kubur di siksa
di dalam kubur mereka.” Aku mendustakan keduanya, aku tidak senang
membenarkan keduanya. Lalu keduanya keluar. Nabi datang masuk menemuiku,
maka aku berkata kepada beliau, “Wahai Rasulullah, sesungguhnya dua
nenek…”, aku menyebutkan kepada beliau. Beliau bersabda, “Keduanya
benar. Sesungguhnya mereka disiksa dengan siksaan yang didengar oleh
binatang-binatang semuanya.” Kemudian tidaklah aku melihat beliau di
dalam shalat setelah itu, kecuali beliau berlindung dari siksa kubur.”
[HR.Bukhari no.6366, Muslim no.586]
Lihatlah, bagaimana
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam membenarkan dan menerima
perkataan dua nenek Yahudi tentang adanya siksa kubur. Bahkan, kemudian
Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam berlindung dari siksa di dalam
shalatnya setelah itu. Maka bandingkanlah dengan sebagian orang Islam di
zaman ini, ketika telah disampaikan kepadaya tentang suatu permasalahan
yang benar berdasarkan ayat al Qur’an, hadits yang shahih, dan
penjelasan oara Ulama. Mereka tidak menerimanya hanya karena orang yang
menyampaikan berbeda mahzabnya, organisasinya, tempat mengajinya,
kebiasaan masyarakatnya, atau semacamnya.
Di dalam suatu kejadian
yang lain, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam tidak mengingkari
perkataan yang benar dari orang-orang Yahudi. Bahkan beliau meluruskan
amalan umat dari sebab peringatan yang disampaikan oleh seorang Yahudi!
Sebagaimana disebutkan dalam hadits di bawah ini:
“Dari Qutailah,
seorang wanita dari suku Juhainah, bahwa seorang laki-laki Yahudi
mendatangi Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam lalu berkata, “Sesungguhnya
kamu menjadikan tandingan (bagi Allah). Sesungguhnya kamu menyekutukan
(Allah). Kamu mengatakan ‘Apa yang Allah kehendaki dan apa yang engkau
kehendaki’. Kamu juga mengatakan ‘Demi Ka’bah’. Maka Nabi memerintahkan
kaum Muslimin, jika menghendaki sumpah untuk mengatakan ‘Demi Rabb
Ka’bah’. Dan agar mereka mengatakan ‘Apa yang Allah kehendaki kemudian
apa yang engkau kehendaki’. [HR.Nasa’I no.3773, dishahihkan oleh al
Albani)
Ketika menjelaskan faedah-faedah dari hadits ini, Syaikh
Muhammad bin Shalih al ‘Utsaimin rahimahullah berkata, “Pertama: Nabi
shallallahu ‘alaihi wasallam tidak mengingkari orang Yahudi tersebut,
padahal yang nampak dari niat orang Yahudi itu adalah mencela Nabi
shallallahu ‘alaihi wasallam dan para shahabat beliau. Karena yang dia
katakan memang benar. Kedua: Disyari’atkan kembali menuju kebenaran
walaupun yang mengingatkan hal itu adalah bukan pengikut kebenaran.
Ketiga: Sepantasnya ketika merubah sesuatu hendaknya merubahnya kepada
sesuatu yang dekat dengannya. Karena Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam
memerintahkan untuk mengatakan ‘Demi Rabb Ka’bah’, dan beliau tidak
mengatakan ‘Bersumpahlah dengan nama Allah azza wa jalla’. Dan beliau
memerintahkan mereka agar mengatakan ‘Apa yang Allah azza wa jalla
kehendaki, kemudian apa yang engkau kehendaki.’”
Setelah
penjelasan ini, Syaikh Muhammad bin Shalih al ‘Utsaimin rahimahullah
menyampaikan suatu masalah dan jawabannya. Yaitu ketika ditanya, “Kenapa
tidak ada yang mengingatkan (kesalahan) perbuatan ini kecuali seorang
Yahudi?” Jawabannya adalah, “Kemungkinan Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wasallam tidak mendengarnya dan tidak mengetahuinya.” Jika ditanya lagi,
“Allah Maha mengetahui, kenapa mendiamkan mereka?” maka dijawab,
“Sesungguhnya itu adalah syirik asghar (kecil), bukan syirik akbar
(besar). Hikmahnya adalah ujian bagi orang-orang Yahudi. Mereka
mengkritik umat Islam atas kata tersebut, padahal mereka menyekutukan
Allah azza wa jalla dengan syirik yang besar, namun mereka tidak melihat
aib mereka.” [6]
Bahkan sesungguhnya menolak kebenaran itu
merupakan sifat orang-orang kafir. Syaikh Muhammad bin Jamil Zainu
hafidzahullah berkata, “Sesungguhnya Allah azza wa jalla telah mengutus
para Rasul kepada manusia dan memerintahkan mereka dengan dakwah untuk
beribadah kepada Allah azza wa jalla dan mentauhidkan-Nya. Namun
mayoritas umat mendustakan para rasul. Mereka menolak al haq yang telah
diserukan kepada mereka yatu tauhid. Maka akibatnya adalah kehancuran.”
[7]
Syaikh juga mengatakan, “Oleh karena ini, wajib menerima al
haq dari siapa saja, bahkan walaupun dari setan.” [8] Kemudian Syaikh
membawakan hadits shahih seperti di bawah ini:
Dari Abu Hurairah
radhiyallahu ‘anhu, dia berkata: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam
mewakilkan aku untuk menjaga zakat ramadhan. Kemudian ada seorang yang
mendatangiku lali mengambil makanan dengan tangannya. Maka aku
menangkapnya, dan kukatakan, “Aku benar-benar akan membawamu kepada
Rasulullah …Kemudian dia menyebutkan hadits itu…lalu pencuri itu
berkata, “Jika engkau pergi ke tempat tidurmu bacalah ayat kursi, akan
selalu ada seorang penjaga dari Allah atasmu, dan setan tidak akan
mendekatimu sampai waktu subuh.” Kemudian Nabi bersabda, “Dia (pencuri
itu) telah berkata benar kepada (hai Abu Hurairah), namun dia itu sangat
pendusta, dia adalah setan,” [9]
Kesimpulannya adalah
sebagaimana dikatakan oleh Syaikh Muhammad bin Jamil Zainu
hafizhahullah, “Berdasarkan ini, seorang Mukmin tidak boleh menolak
kebenaran dan nasehat sehingga tidak menyerupai orang-orang kafir, dan
sehingga tidak terjerumus di dalam kesombongan yang akan menghalangi
pelakunya untuk memasuki surga. Hikmah adalah barang hilang seorang
Mukmin, di mana saja dia menemuinya, dia mengambilnya.” [10]
Note:
[1] Tafsir al Qur’anil ‘Azhim, surat ar Ra’du/13: 19
[2] Tafsir Taisir Karimir Rahman, surat al Anbiya’/21: 24
[3] Syarah Muslim, hadits no.2749
[4] An Nihayah fi Gharibil Hadits
[5] Iqtidha’ Shiratil Mustaqim hal.14; Syarah Syaikh al ‘Utsaimin; Penerbit.Dar Ibni Haitsam; Kairo; Takhrij:Fathi Shalih Taufiq
[6]
Al Qaulul Mufid hal.522-523; Penerbit Abu Bakar ash Shiddiq, Mesir,
Cet.1, Th.2007M/1428H; Tahqiq: Muhammad Sayyid ‘Abdur Rabbir Rasul
[7] Minhajul Firqah an Najiyah hal.140
[8] Minhajul Firqah an Najiyah hal.140
[9]
HR.Bukhari no.2311, 3275, dengan mu’allaq, namun disambungkan oleh Abu
Bakar al Isma’ili dan Abu Nu’aim, sebagaimana disebutkan di dalam Hadyus
sari hal.42 dan Fathul Bari 4/488. Lihat penjelasan lengkap di dalam
Fathul Mannan, hal.458-460, karya Syaikh Masyhur bin Hasan Alu Salman.
[10] Minhajul Firqah an Najiyah hal.140 ·
Tidak ada komentar:
Posting Komentar