Dan
penjual dawet itupun memikul dagangannya dengan bahu kanan. Dia
berjalan perlahan melewati pinggiran jalan raya yang penuh dengan truk
dan mobil berkecepatan tinggi. Dia tergesa-gesa mengejar adzan jum’at
berkumandang. Tinggal seratus meter lagi menuju masjid. Lelaki tua itu,
lelaki tak kenal lelah. Memasuki pelataran masjid. Membasuh tubuhnya
dengan air wudhu dan sesekali meminum air itu. “daripada minum dawet,
lebih baik aku minum air masjid ini”, begitu mungkin pikirnya.
Aku
memandangnya dari jauh. Kulihat sesekali dia menoleh ke barang
dagangannya. Takut ada yang mencuri mungkin. Maklumlah, modal yang
dipakai pas-pasan. Jangan sampai dagangannya hilang atau rusak oleh ulah
tangan jahil. Ketika adzan jum’at berkumandang. Dia memilih sholat di
dekat dagangannya.
Kasihan engkau kakek. Di umur senjamu, engkau masih harus bekerja keras sendiri. Dimana anak cucumu kek?
Bahkan
ketika sholat jum’at telah selesai. Sang kakek duduk di dekat
dagangannya. Berharap ada satu atau dua jamaah yang menoleh dan membeli
es dawetnya. Sayang beribu sayang. Mungkin jum’at ini bukan jum’at yang
baik baginya. Tak satupun jamaah masjid membeli. Jangankan membeli,
menolehpun tidak. Kakek itu hanya terpaku melihat satu per satu jamaah
keluar dari halaman masjid.
Peluh mulai membasahi tubuhnya. Bayangan akan lembaran uang lenyap bersamaan dengan sepinya masjid itu….
Aku…
yang sedari tadi duduk di halaman masjid, hanya diam tak bergerak.
Kuamati sampai berapa lama sang kakek akan bertahan di pelataran masjid
itu.
Masjid mulai sepi. Hampir semua jamaah telah pulang. Yang
tersisa hanyalah takmir masjid dan beberapa pengurus masjid yang sibuk
menghitung uang hasil infak para jamaah. Sang kakek menoleh ke kanan dan
ke kiri. Tak ada lagi jamaah tersisa. Tinggal aku dan motor plat
merahku. Akupun hanya terdiam. Ingin aku membeli es dawetnya. Tapi apa
daya, satu-satunya uang sepuluh ribuan yang kubawa, telah kumasukkan ke
dalam kotak infak masjid. Sementara pengurus masjid sibuk menghitung
infak, sang kakek harus sibuk menggotong kembali barang dagangannya yang
tak laku sama sekali.
Sang kakek, dengan tatapan tegar. Kembali
berjalan. Dia keluar dari pelataran masjid menuju ke arah utara, arah
dimana rumah dinasku berada.
Kupacu motorku cepat. Kudahului sang kakek, kutunggu dia di depan puskesmas.
Dua puluh menit berlalu dan dari kejauhan, sang kakek akhirnya nampak. Kupanggil dia keras-keras.
“Paaak!!! Paaakk!!!!”
Dan sang kakek pun mendekat. Dia bertanya, “mau beli dawet ta nak?”
“iya”, jawabku mantap.
“berapaan pak satu gelasnya?”
“seribu nak”, jawabnya jujur.
“Masya Allah!!!! Dawet segelas dijual cuman seharga seribu!!! Kapan balik modalnya coba!!!!”, batinku
“yasudah pak, sini masuk, saya mau beli”
Sang kakek berjalan mengikutiku masuk ke ruang rawat inap para pasien.
Singkat cerita. Aku membeli duapuluh gelas dawet untukku dan untuk para keluarga penunggu pasien.
Sang
kakek melayani permintaanku dengan senyum mengembang di wajahnya.
Kulihat gentong berisi air dawetnya mulai berkurang setengah. Masih sisa
setengah lagi.
“sudah pak, berapa semuanya?”
“duapuluh ribu nak”, katanya berkaca-kaca.
“ini pak, bawa saja sisa kembaliannya”, kuserahkan lembaran limapuluh ribu ke tangan kakek itu.
Dan sang kakek bertanya, ‘lho berarti sampeyan shodakoh ini ke saya?”
“apalah kek itu namanya, intinya kembaliannya aku kasih buat kakek….”
“ini namanya shodakoh nak. Matur nuwun nak. Kulo doakan semoga sampeyan lancar rejeki”
“amin ya Allah”, jawabku singkat.
Sang
kakek pun kembali memikul dagangannya. Kali ini jalannya semakin cepat.
Mungkin karena bahagia atau karena berat gentong dawetnya sudah
berkurang setengah.
Tak terasa air mata merembes di pelupuk mataku.
*
Dan
tahukah engkau teman. Keesokan harinya, uang limapuluh ribu itu,
dikembalikan dengan cara yang sangat ajaib oleh Allah. Dia kembali ke
tanganku bukan lagi sebesar limapuluh ribu, melainkan satu juta. Rejeki
yang sangat tidak aku perhitungkan bakal kudapat minggu ini. Dan berkat
itu, aku bisa menabung 2,5 juta untuk minggu ini. Sejuta lebih banyak
dibanding minggu2 sebelumnya.
Kakek….
Terimakasih atas doamu…
Sebenarnya bukan aku, melainkan engkau, yang memberi shodakoh.
Doamu, adalah pembuka pintu rejeki untukku.
Terimakasih banyak, kek…. ·
Tidak ada komentar:
Posting Komentar