Rencana
pemerintahan Presiden Jokowi untuk menaikkan harga BBM mendapat
tentangan dari berbagai pihak. Salah satu tokoh yang paling vocal adalah
pengamat ekonomi, Ichsanudddin Noorsy.
Menurut Noorsy,
seharusnya pemerintah tidak menaikkan harga BBM pada situasi sulit
seperti saat ini, apalagi harga minyak di pasaran internasional sedang
mengalami penurunan drastis hingga USD 80 per barrelnya, jauh dibawah
asumsi APBN 2015 USD 105 per barrelnya.
“Mencampuradukkannya
merupakan bukti pemerintah bingung mencari pembenaran kenaikan harga
Migas disaat harga di pasaran internasional sedang mengalami penurunan,”
ungkap Noorsy.
Menurutnya, ada tujuh alasan untuk menolak
kenaikan harga BBM. Pertama, ditetapkan berapa biaya crude per
barrelnya. Kedua, berapa biaya kilang dan penyimpanan serta
transportasi per liternya. Ketiga, bagaimana perhitungan Pertamina
dalam memperoleh alpha Rp 746/liter.
Keempat, berapa pendapatan
negara dari ekspor Migas, DMO dan pajak Migas, bandingkan dengan biaya
subsidi. Kelima, jika subsidi dikurangi Rp 3000 per liternya, berapa
selisihnya dengan harga pasar. Keenam, Mahkamah Konstitusi telah
memutuskan harga Migas ditetapkan Pemerintah, yang berarti harga BBM
tidak tunduk pada mekanisme pasar. Ketujuh, soal harga Migas dan subsidi
adalah soal Pasal 23 dan 33 UUD 1945. Soal KIS, KIP, dan KKS adalah
soal Pasal 23,28, 31 dan 34 UUD 1945. ·
Tidak ada komentar:
Posting Komentar