A
: “Maaf Pak, boleh tanya? Koq shalatnya tadi gak mau rapat ke saya?
Saya dekatin malah menjauh, saya coba deketin lagi malah menjauh lagi,
kenapa Pak?”
B : “Saya takut di injek sama kamu.”
A : “Saya kan tidak ada nginjek Bapak…”
B : “Memang kamu gak ada nginjek, tapi rata2 orang yang senangnya rapat2 shalatnya pada suka nginjek kaki saya.”
A : “Itu kan mereka, Pak…beda dengan saya. Saya hanya mencoba menempelkan kaki saya aja ke kaki Bapak.”
B : “Kalo nempel nanti bisa keinjek juga kaki saya…”
A
: “Gak lha Pak…Beda antara nempel dengan nginjek…lagian saya
nempelinnya pelan dan lembut koq Pak, karena yang diperintahkan oleh
Nabi adalah berlemah lembut dalam merapatkan shaf, bukan dengan kasar
apalagi sampai nginjek kaki orang…”
B : “Lagian kamu ngapain
rapet2 ke saya, sudah tahu ada batasnya masing2. Lihat saja karpetnya,
sudah dibatasin dan di kotak2 shafnya, gunanya biar tidak terlalu rapat
dan tidak terlalu renggang. Makanya karpetnya digambar seperti sajadah,
supaya masing2 orang ada tempatnya tersendiri.”
A : “Sebenarnya
untuk merapatkan shaf tidak melihat kepada karpet atau sajadah, karena
itu tidak ada perintahnya atau dalilnya. Dan kita tidak tahu siapa yang
membuat karpet tersebut. Siapa tahu yang membuat karpet tersebut adalah
orang2 kafir agar shaf kaum muslimin terpecah2, atau dari kaum muslimin
sendiri yang membuatnya karena kebodohan atau keawamannya. Untuk
merapatkan shaf hendaknya kita melihat kepada para shahabat Nabi dalam
merapatkan shaf. Dan para shahabat ketika merapatkan shaf, mereka saling
menempelkan kaki dan bahu mereka ke orang sebelahnya.”
B : “Ah..! Itu perbuatan mengada-ada yaitu merapatkan shaf dengan menempelkan kaki dan bahu. Mana dalilnya?”
A
: “Ini dalilnya, Anas bin Malik berkata, ‘Dulu, salah seorang di antara
kami menempelkan bahunya dengan bahu teman di sampingnya serta kakinya
dengan kaki temannya. Andaikan engkau lakukan hal itu pada hari ini,
niscaya engkau akan melihat mereka seperti baghal (Hewan hasil
perkawinan campur antara kuda dengan keledai) yang liar’.(HR.Al-Bukhari,
725).”
B : “Hehe…kamu tidak memahami makna hadits tersebut.
Dalam hadits yang kamu sebutkan, dikatakan ‘salah seorang di antara
kami’, berarti maknanya adalah yang melakukan hal tersebut adalah bukan
semua shahabat melainkan hanya satu orang atau sedikit orang. Dan itu
menunjukan kalau perbuatan seperti itu asing bagi mereka. Makanya pahami
dulu dalilnya sebelum menyampaikan! Hehehe…”
A :
“Hehehe…Bagaimana dengan hadits ini Pak? Rasulullah shalallahu alaihi
wasallam bersabda, ‘Tidak beriman salah seorang dari kalian sampai aku
lebih dicintainya daripada dirinya sendiri.’ Berarti anjuran untuk
mencintai Nabi melebihi dirinya cukup salah seorang dari kita saja?!
Jika sudah ada satu orang yang cinta Nabi, maka sudah tidak wajib kita
mencintai Nabi?! Kalimat2 seperti itu bukan berarti hanya ditujukan
kepada satu orang saja, tapi juga ditujukan kepada kita semua, dan kita
termasuk terkena perintahnya. Karena sangat banyak sekali dalil2 yang
berisikan kalimat yang seperti itu. Wallahu a’lam.”
B : “Saya
jadi gelisah kalau shalatnya rapat2 sehingga mengganggu kekhusyuan
shalat. Bukankah kekhusyuan shalat itu sangat penting?”
A :
“Justru dengan kita mengikuti shalat seperti yang diperintahkan oleh
Nabi, malah akan menambah rasa kekhusyuan shalat kita. Tidak akan bisa
orang shalat dengan khusyu jika orang itu shalat tidak sesuai dengan
sunnah atau melanggar perintah Allah dan Rasul-Nya. Saya malah bisa
khusyu dan tenang kalau shalatnya dengan rapat, sebaliknya saya malah
tidak bisa khusyu jika shalatnya tidak rapat, karena saya sudah
terbiasa. Kita jadi bisa karena terbiasa. Lagipula kalau ada celah dalam
shaf kita, niscaya celah tersebut akan diisi oleh setan, dan nantinya
setan itu malah akan menggangu kita selama kita shalat sehingga hilang
kekhusyuan shalat kita.”
B : “Setan akan mengisi celah shaf jika
shafnya sangat renggang sekali, renggangnya seperti seukuran satu orang.
Dan jika renggangnya kurang dari itu, seperti renggangnya kita tadi
yang seukuran sejari atau sampai sejengkal maka setan tidak bisa mengisi
celah itu. Jadi celah seperti itu masih dibolehkan karena setan tidak
bisa mengisi celah itu.”
A : “Bapak tahu gak berapa besar ukuran setan?”
B : “Gak tahu, tapi biasanya setan kalau berwujud bisa sebesar manusia seperti kita.”
A
: “Itu kalau setan sedang menampakkan diri, kalau tidak?? Di hadits
disebutkan bahwa setan bermalam di dalam lubang hidung manusia, dalam
riwayat lain juga disebutkan bahwa setan bisa berjalan di peredaran
darah manusia. Bukankah lubang hidung kita dan peredaran darah kita
sangat kecil dan sempit sekali? Nah…berarti selama masih ada celah dalam
shaf walaupun celah itu sangat kecil sekali, maka setan bisa menempati
celah itu. Maka dari itu hendaknya kita menempelkan kaki kita ketika
merapatkan shaf agar celah itu tertutup rapat dan setan tidak bisa
menempatinya. Wallahu a’lam.”
B : “Bukankah merapatkan dan
meluruskan shaf itu tugas seorang imam? Dan tadi imam kita diam saja
akan hal itu, dia tidak menyuruh kita untuk merapatkan dan meluruskan
shaf. Jadi hal itu sudah tanggung jawab imam bukan? dan bukan tanggung
jawab kita. Tapi kenapa malah kamu yang repot?”
A : “Memang itu
adalah tanggung jawab seorang imam, dan dia akan mempertanggung
jawabkannya nanti di hadapan Allah kenapa dia berdiam diri dari masalah
ini. Dan saya hanya sebatas kemampuan saya untuk merapatkan shaf, selama
saya masih mampu maka akan saya usahakan selalu.”
B : “Lantas
kenapa kamu ngomongnya ke saya? dan kenapa kamu tidak menegur ke imam
itu yang lebih bertanggung jawab atau ke makmum yang lain yang tidak mau
merapatkan shaf?!”
A : “Karena saya lebih mencintai Bapak karena
Allah dari mereka, makanya saya mencoba untuk menyampaikan hal ini ke
Bapak sebagai bukti kepedulian dan rasa cinta saya ke Bapak. Seperti
halnya Bapak juga memberi nasehat kepada orang yang Bapak cintai seperti
istri atau anak2 Bapak, dan Bapak akan masa bodoh kepada orang2 yang
tidak atau kurang Bapak cintai.”
B : “Bukankah kita harus saling
mencintai sesama muslim? dan mereka yang tidak kamu dakwahi juga muslim.
Berarti kamu tidak cinta mereka?”
A : “Seperti yang sudah saya
katakan, saya lebih mencintai Bapak karena Allah, karena Bapak ada di
sebelah saya tadi ketika shalat. Seandainya mereka tadi ada di sebelah
saya, niscaya akan saya sampaikan juga jika saya memiliki kemampuan
untuk itu. Saya ingin agar Bapak juga mendapat pahala, dan kita bisa
mendapat pahala sama2 dari Allah, insya Allah. Bapak mau dapat pahala
dari Allah?”
B : “Mau lha…memang siapa yang tidak mau dapat pahala?”
A : “Kalau mau, kenapa ketika dikasih pahala maka Bapak menolak?”
B
: “Menolak? kapan? saya tidak merasa menolak. Kalau saya menolak,
nagapain saya capek2 datang ke masjid untuk shalat berjamaah?”
A :
“Saya mencoba untuk merapatkan dan menempelkan kaki saya ke Bapak,
supaya Bapak juga bisa mendapatkan pahala dengan sebab Bapak mau untuk
merapatkan shaf dan mengamalkan sunnah, tapi Bapak malah menjauh dan
menghindar, hal itu sama saja Bapak menolak pahala, bukan?”
B : “Hmm…itu karena saya belum paham, kalau sekarang saya insya Allah bisa memahami.”
A : “Terima kasih Pak, semoga Allah senantiasa memberi kita hidayah.”
B : “Amiin…Oh ya…ngomong2 kamu namanya siapa? sudah kerja?”
A : “Nama saya Abdullah (hamba Allah). Alhamdulillah sudah kerja.”
B : “Oo…sudah menikah belum?”
A : “Ee…belum pak…kenapa?”
B : “Gak apa2…kebetulan saya punya anak perempuan yang juga belum nikah…ehm…” ·
Tidak ada komentar:
Posting Komentar