Ada
sebuah kisah cantik yang dikutip oleh Syaikh ’Abdullah Nashih ’Ulwan
dalam Taujih Ruhiyah-nya. Kisah menarik ini, atau yang semakna dengannya
juga termaktub dalam karya agung Ibnul Qayyim Al Jauziyah yang khusus
membahas para pencinta dan pemendam rindu, Raudhatul Muhibbin.
Ini
kisah tentang seorang gadis yang sebegitu cantiknya. Dialah sang bunga
di sebuah kota yang harumnya semerbak hingga negeri-negeri tetangga. Tak
banyak yang pernah melihat wajahnya, sedikit yang pernah mendengar
suaranya, dan bisa dihitung jari orang yang pernah berurusan dengannya.
Dia seorang pemilik kecantikan yang terjaga bagaikan bidadari di taman
surga.
Sebagaimana wajarnya, sang gadis juga memendam cinta.
Cinta itu tumbuh, anehnya, kepada seorang pemuda yang belum pernah
dilihatnya, belum pernah dia dengar suaranya, dan belum tergambar
wujudnya dalam benak. Hanya karena kabar. Hanya karena cerita yang
beredar. Bahwa pemuda ini tampan bagai Nabi Yusuf zaman ini. Bahwa
akhlaqnya suci. Bahwa ilmunya tinggi. Bahwa keshalihannya membuat iri.
Bahwa ketaqwaannya telah berulangkali teruji. Namanya kerap muncul dalam
pembicaraan dan doa para ibu yang merindukan menantu.
Gadis
pujaan itu telah kasmaran sejak didengarnya sang bibi berkisah tentang
pemuda idaman. Tetapi begitulah, cinta itu terpisah oleh jarak,
terkekang oleh waktu, tersekat oleh rasa asing dan ragu. Hingga hari itu
pun tiba. Sang pemuda berkunjung ke kota si gadis untuk sebuah urusan.
Dan cinta sang gadis tak lagi bisa menunggu. Ia telah terbakar rindu
pada sosok yang bayangannya mengisi ruang hati. Meski tak pasti adakah
benar yang ia bayangkan tentang matanya, tentang alisnya, tentang lesung
pipitnya, tentang ketegapannya, tentang semuanya. Meski tak pasti
apakah cintanya bersambut sama.
Maka ditulisnyalah surat itu, memohon bertemu.
Dan ia mendapat jawaban. ”Ya”, katanya.
Akhirnya
mereka bertemu di satu tempat yang disepakati. Berdua saja. Awal-awal
tak ada kata. Tapi bayangan masing-masing telah merasuk jauh menembus
mata, menghadirkan rasa tak karuan dalam dada. Dan sang gadis yang
mendapati bahwa apa yang ia bayangkan tak seberapa dibanding aslinya;
kesantunannya, kelembutan suaranya, kegagahan sikapnya. Ia berkeringat
dingin. Tapi diberanikannya bicara, karena demikianlah kebiasaan yang
ada pada keluarganya.
”Maha Suci Allah”, kata si gadis sambil sekilas kembali memandang, ”Yang telah menganugerahi engkau wajah yang begitu tampan.”
Sang
pemuda tersenyum. Ia menundukkan wajahnya. ”Andai saja kau lihat aku”,
katanya, ”Sesudah tiga hari dikuburkan. Ketika cacing berpesta
membusukkannya. Ketika ulat-ulat bersarang di mata. Ketika hancur wajah
menjadi busuk bernanah. Anugerah ini begitu sementara. Janganlah kau
tertipu olehnya.”
”Betapa inginnya aku”, kata si gadis, ”Meletakkan jemariku dalam genggaman tanganmu.”
Sang
pemuda berkeringat dingin mendengarnya. Ia menjawab sambil tetap
menunduk memejamkan mata. ”Tak kurang inginnya aku berbuat lebih dari
itu. Tetapi coba bayangkan, kulit kita adalah api neraka; yang satu bagi
yang lainnya. Tak berhak saling disentuhkan. Karena di akhirat kelak
hanya akan menjadi rasa sakit. dan penyesalan yang tak berkesudahan.”
Si
gadis ikut tertunduk. ”Tapi tahukah engkau”, katanya melanjutkan,
”Telah lama aku dilanda rindu, takut, dan sedih. Telah lama aku
merindukan saat aku bisa meletakkan kepalaku di dadamu yang berdegub.
Agar berkurang beban-beban. Agar Allah menghapus kesempitan dan
kesusahan.”
”Jangan lakukan itu kecuali dengan haknya”, kata si
pemuda. ”Sungguh kawan-kawan akrab pada hari kiamat satu sama lain akan
menjadi seteru. Kecuali mereka yang bertaqwa.”
Kita cukupkan
sampai di sini sang kisah. Mari kita dengar komentar Syaikh ’Abdullah
Nashih ’Ulwan tentangnya. ”Apa yang kita pelajari dari kisah ini?”,
demikian beliau bertanya. ”Sebuah kisah yang indah. Sarat dengan ’ibrah
dan pelajaran. Kita lihat bahwa sang pemuda demikian fasih membimbing si
gadis untuk menghayati kesucian dan ketaqwaan kepada Allah.”
”Tapi”,
kata beliau memberi catatan. ”Dalam kisah indah ini kita tanpa sadar
melupakan satu hal. Bahwa sang pemuda dan gadis melakukan pelanggaran
syari’at. Bahwa sang pemuda mencampuradukkan kebenaran dan kebathilan.
Bahwa ia meniupkan nafas da’wah dalam atmosfer yang ternoda. Dan
dampaknya bisa kita lihat dalam kisah; sang gadis sama sekali tak
mengindahkan da’wahnya. Bahkan ia makin berani dalam kata-kata;
mengajukan permintaan-permintaan yang makin meninggi tingkat bahayanya
dalam pandangan syari’at Allah.”
Ya. Dia sama sekali tak
memperhatikan isi kalimat da’wah sang pemuda. Buktinya, kalimatnya makin
berani dan menimbulkan syahwat dalam hati. Mula-mula hanya mengagumi
wajah. Lalu membayangkan tangan bergandengan, jemarinya menyatu
bertautan. Kemudian membayangkan berbaring dalam pelukan. Subhanallah,
bagaimana jika percakapan diteruskan tanpa batas waktu?
”Kesalahan
itu”, kata Syaikh ’Abdullah Nashih ’Ulwan memungkasi, ”Telah terjadi
sejak awal.” Apa itu? ”Mereka berkhalwat (berduaan dengan yang bukan
mahram)! Mereka tak mengindahkan peringatan syari’at dan pesan Sang Nabi
tentang hal yang satu ini.”
Ya. Mereka berkhalwat! Bersepi
berduaan. Ya. Sang pemuda memang sedang berda’wah. Tapi meminjam istilah
salah seorang Akh yang paling saya cintai dalam ’surat cinta’-nya yang
masih saya simpan hingga kini, ini adalah ”Da’wah dusta!” Da’wah dusta.
Da’wah dusta. Di jalan cinta para pejuang, mari kita hati-hati terhadap
jebakan syaithan. Karena yang tampak indah selalu harus diperiksa dengan
ukuran kebenaran.
taken from: Jalan Cinta Para Pejuang/Cinta Bersujud Di Mihrab Taat/Selingan Cinta dari Khazanah Lama
by Salim A. Fillah
Sumber : http://salim-a-fillah.blog.friendster.com/2008/07/dawah-dusta/
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
لا يخلون أحدكم بامرأة فإن الشيطان ثالثهما
“Janganlah
salah seorang dari kalian berkhalwat dengan seorang wanita karena
sesungguhnya syaitan menjadi orang ketiga diantara mereka berdua.” (HR.
Ahmad 1/18, Ibnu Hibban [lihat Shahih Ibnu Hibban 1/436], At-Thabrani
dalam Al-Mu’jam Al-Awshoth 2/184, dan Al-Baihaqi dalam sunannya 7/91.
Dishahihkan oleh Syaikh Al-Albani dalam As-Shahihah 1/792 no. 430)
ومن كان يؤمن بالله واليوم الآخر فلا يخلون بامرأة ليس معها ذو محرم منها فإن ثالثهما الشيطان
“Barangsiapa
yang beriman kepada Allah dan hari akhir maka janganlah ia berkhalwat
dengan seorang wanita tanpa ada mahrom wanita tersebut, karena syaitan
menjadi orang ketiga diantara mereka berdua.” (HR. Ahmad dari hadits
Jabir 3/339. Dishahihkan oleh Syaikh Al-Albani dalam Irwaul Gholil jilid
6 no. 1813)
لا يخلون رجل بامرأة إلا مع ذي محرم فقام رجل فقال يا رسول الله امرأتي خرجت حاجة واكتتبت في غزوة كذا وكذا قال ارجع فحج مع امرأتك
“Dari
Ibnu Abbas, bahwasanya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam
bersabda, ‘Janganlah seorang laki-laki berkhalwat dengan seorang wanita
kacuali jika bersama dengan mahrom sang wanita tersebut.’ Lalu
berdirilah seseorang dan berkata, ‘Wahai Rasulullah, istriku keluar
untuk berhaji, dan aku telah mendaftarkan diriku untuk berjihad pada
perang ini dan itu,’ maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam
berkata, ‘Kembalilah!, dan berhajilah bersama istrimu.’” (HR. Al-Bukhari
no. 5233 dan Muslim 2/975) ·
Tidak ada komentar:
Posting Komentar