Lelaki
berumur enam puluh tahun itu memasuki rumahnya di Madinah. Nyaris tak
mengenali lagi rumah yang pernah ditinggalinya itu. Ia menemukan rumah
itu, saat menyusuri jalan-jalan di kota Madinah, yang sudah ramai.
Rumahnya
yang sangat sederhana itu, pintunya agak terbuka, dan nampak lengang.
Lelaki itu meninggalkan rumahnya, tiga puluh tahun lalu, dan waktu itu
isterinya masih belia, dan menjelang melahirkan anak pertamanya.
Lelaki
tua itu meninggalkan Madinah pergi berjihad ke negeri yang sangat jauh.
Ia berangkat bersama pasukan muslimin. Membuka Bukhara dan Samarkand,
dan sekitarnya, yang terletak di Asia Tengah. Begitu jauh perjalanan
jihad bersama pasukan muslimin, mengarungi samudera padang pasir,
menembus perjalanan beribu-ribu mil dari kota Madinah. Sungguh sangat
luar biasa para mujahidin itu. Kepergiannya dengan tekad dan tawakal
kepada Allah Azza wa Jalla.
Menjelang Isya’ dengan kuda yang
ditungganginya itu, prajurit tua itu, memasuki kota Madinah, yang masih
ramai, dan melihat kehidupan yang tidak berubah, sesudah ditinggalkannya
selama tiga puluh tahun. Namun, ingatannya yang tajam, akhirnya lelaki
tua itu, menemukan rumahnya kembali, yang masih tampak sederhana, dan
didapati pintunya sedikit terbuka. Kegembiraan menggelayut, dan merasa
yakin bertemu dengan kembali dengan isterinya yang lama ditinggalkan
itu.
Si penghuni rumah melihat ada orang yang masuk rumahnya,
maka lelaki yang ada di atas, langsung melompat, dan turun sambil
membentak lelaki tua yang datang itu, “Engkau berani memasuki rumah dan
menodai kehormatanku malam-malam, wahai musuh Allah?”. Si penghuni
rumah mencengkeram leher lelaki tua, seraya mengatakan, “Wahai musuh
Allah, demi Allah aku takkan melepaskanmu kecuali di muka hakim”,
sergahnya.
Lelaki tua yang baru datang itu berkata, “Aku bukan
musuh Allah dan bukan penjahat. Ini rumah milikku, kudapati pintunya
terbuka lalu aku masuk”. Lelaki tua itu melanjutkan, “Wahai
saudara-saudara, dengarkanlah. Rumah ini milikku, kubeli dengan uangku.
Wahai kaum, aku adalah Farrukh. Tiadakah seorang tetangga yang masih
mengenali Farrukh yang tiga puluh tahun lalu pergi berjihad fi
sabilillah?”
Bersamaan itu, ibu si empunya rumah yang sedang
tidur itu bangun oleh keributan, lalu menengok dari jendela atas dan
melihat suaminya sedang bergulat dengan darah dagingnya sendiri.
Lidahnya nyaris tak berucap. Dengan nada yang kuat berseru, “Lepaskan ..
lepaskan dia, Rabiah … lepaskan dia, putraku, dia adalah ayahmu .. dia
ayahmu … Saudara-saudara sekalian tinggalkan mereka, semoga Allah
memberkahi kalian. Tenanglah, Abu Abdirrahman, dia putramu .. dua
putramu .. jantung hatimu …
Lalu, Ar-Rabi’ah mencium tangan
ayahnya. Orang-orang meninggalkan keduanya. Setelah itu, isterinya Ummu
Rabi’ah menyambut suaminya dan memberi salam. Ummu Rabi’ah tak mengira
bahwa ia akan bertemu kembali dengan suaminya yang pergi berjihad selama
tiga puluh tahun itu.
Saat-saat bahagia antara Farrukh dengan
Ummu Rabi’ah, terkadang duduk berdua, sambil bercerita keduanya selama
berpisah tiga puluh tahun. Mereka mendapatkan kebahagiaan kembali,
keduanya dapat bertemu, meskipun sekarang suaminya telah berumur enam
puluh tahun. Namun, saat itu muncul kekawatiran dari Ummu Rabi’ah
tentang uang yang pernah dititipkan oleh suaminya dahulu, dan ia harus
menjaganya. Karena uang yang dititipkan suaminya itu, habis untuk
membiayai pendidikan putranya senilai 30.000 dinar. “Percayakah Farrukh
bahwa pendidikan putranya itu menghabiskan 30.000 dinar”, gumam Ummu
Rabi’ah.
Selagi pikirannya mengelayut itu, tiba-tiba Farrukh,
yang duduk disampingnya itu berkata, “Aku membawa uang 4.000 dinar.
Ambillah uang yang akut titipkan kepadamu dahulu. Kita kumpulkan lalu
kita belikan kebun atau rumah, dan akan kita ambil sewanya”, ucap
Farrukh kepada Ummu Rabi’ah.
Pembicaraan terputus saat adzan
datang. Farrukh bergegas menuju masjid, seraya menanyakan, “Mana
Ar-Rabi’ah?’ Isterinya menjawab, “Dia sudah lebih dahulu berangkat ke
masjid. Saya kira engkau akan tertinggal shalat berjama’ah”. Dia segera
shalat, dan sesudah itu pergi ke Rhaudah mutharah, berdo’a di dekat
makam Rasulullah, karena betapa rindunya dia dengan Rasulullah.
Saat
mau meninggalkan masjid, begitu ramai orang yang sedang mengelilingi
seorang ulama, yang belum pernah melihat sebelumnya. Mereka duduk
melingkari Sheik itu. Sampai tak ada tempat yang kosong untuk dapat
berjalan. Farrukh mengamati, ternyata orang-orang yang hadir, ada yang
sudah lanjut usia, anak-anak muda, mereka semua duduk sambil
menghamparkan lututnya. Semuanya menghadapkan pandangan kepada Sheikh.
Farrukh
itu berusaha melihat wajah Sheikh yang luar biasa itu, tetapi tak
dapat, karena begitu banyaknya orang yang mengelilinginya. Sampai saat
majelis itu usai. Orang-orang meninggalkan masjid. Kemudian di
tengah-tengah suasana yang sudah mulai sepi itu Farrukh bertanya kepada
salah seorang yang masih tinggal di masjid itu.
Farrukh: “Siapakah Sheikh yang baru saja berceramah itu?”
Fulan: “Apakah anda bukan penduduk Madinah?”
Farrukh: “Saya penduduk Madinah”.
Fulan: “Masih adakah di Madinah ini orang yang tak mengenal Sheikh yang memberikan ceramah itu?”
Farrukh:
“Maaf, saya benar-benar tidak tahu, karena saya sudah meninggalkan kota
ini sejak 30 tahun yang lalu, dan baru kemarin tiba”
Fulan:
“Tidak apa. Duduklah sejenak, saya akan menjelaskannya. Sheikh yang anda
dengarkan ceramahnya itu adalah seorang tokoh tabi’in. Termasuk
diantara ulama yang paling terpandang, dialah ahli hadist di Madinah,
fuqaha dan imam kami, meksipun masih sangat muda”. Majelisnya dihadiri
oleh Malik bin Anas, Abu Hanifah, An-Nu’man, Yahya bin Sa’id Al-Anshari,
Sufyan Tsauri, Abdurrahman bin Amru Al-Auza’I, Laits bin Sa’id dan
lainnya”.
Farrukh: “Tetapi anda belum menyebutkan namanya?”
Fulan: “Namanya adalah Ar-Rabi’ah Ar-Ra’yi”.
Farrukh: “Namanya Ar-Rabi’ah Ar-Ra’yi?”
Fulan:
“Nama aslinya Ar-Rabi’ah, tetapi para ulama dan pemuka Madinah biasa
memanggilnya Ar-Rabi’ah Ar-Ra’yi. Karena setiap menjumpai kesulitan
tentang nash dari Kitabullah yang tidak jelas, mereka selalu bertanya
kepadanya”.
Farrukh: “Anda belum menyebutkan nasabnya?”
Fulan:
“Dia adalah Ar-Rabi’ah putra Farrukh yang memiliki kunyah (julukan) Abu
Abdurrahman. Tak lama dilahirkan setelah ayahnya meninggalkan Madinah
sebagai mujahid fi sabilillah, lalu ibunya memelihara dan mendidiknya.
Tetapi sebelum shalat tadi orang-orang ramai mengatakan ayahnya telah
datang kemarin malam.”
Tiba-tiba meleleh air mata Farrukh, tanpa lawan bicaranya mengerti mengapa Farrukh melelehkan air matanya.
Sesampai
di rumah isterinya Ummu Rabi’ah melihat suaminya meneteskan air
matanya, dan bertanya kepada suaminya, Farrukh : “Ada apa wahai Abu
Abdirrahman?” Suaminya menjawab : “Tidak ada apa-apa. Aku melihat
putraku berada dalam kedudukan itu dan kehormatan yang tinggi, yang
tidak kulihat pada orang lain”, tukasnya.
Di ujung kehidupan itu,
Ummu Rabi’ah bertanya kepada suaminya, “Menurutmu manakah yang lebih
engkau sukai, uang 30.000 dinar, atau ilmu dan kehormatan yang telah
dicapai putramu?”. Farrukh menjawab : “Demi Allah, bahkan ini lebih aku
sukai dari pada dunia dan seisinya”, ucapnya.
Begitulah kisah
generasi Tabi’in yang penuh kemuliaan, dan peranan seorang ibu yang
ditinggal oleh suaminya berjihad ke negeri yang sangat jauh, selama tiga
puluh, dan dapat mendidik putranya menjadi seorang ulama besar dan
memiliki ilmu dan kehormatan yaitu Ar-Rabi’ah. Wallahu’alam. ·
Tidak ada komentar:
Posting Komentar