Cerita
 ini adalah kisah nyata… dimana perjalanan hidup ini ditulis oleh 
seorang istri dari teman saya yang di simpan dalam sebuah laptopnya. 
Bacalah, semoga kisah nyata ini menjadi pelajaran bagi kita 
semua.(semoga menjadi pengingat bagiku, ketika ku sudah melangkah ke 
dalam kehidupan baru)
*
Cinta itu butuh kesabaran…
Sampai dimanakah kita harus bersabar menanti cinta kita???
Hari itu.. aku dengannya berkomitmen untuk menjaga cinta kita..
Aku menjadi perempuan yg paling bahagia…..
Pernikahan kami sederhana namun meriah…..
Ia menjadi pria yang sangat romantis pada waktu itu.
Aku bersyukur menikah dengan seorang pria yang shaleh, pintar, tampan & mapan pula.
Ketika kami berpacaran dia sudah sukses dalam karirnya.
Kami
 akan berbulan madu di tanah suci, itu janjinya ketika kami berpacaran 
dulu..Dan setelah menikah, aku mengajaknya untuk umroh ke tanah suci….
Aku sangat bahagia dengannya, dan dianya juga sangat memanjakan aku… sangat terlihat dari rasa cinta dan rasa sayangnya pada ku.
Banyak
 orang yang bilang kami adalah pasangan yang serasi. Sangat terlihat 
sekali bagaimana suamiku memanjakanku. Dan aku bahagia menikah 
dengannya.
Lima tahun berlalu sudah kami menjadi suami istri, 
sangat tak terasa waktu begitu cepat berjalan walaupun kami hanya hidup 
berdua saja karena sampai saat ini aku belum bisa memberikannya seorang 
malaikat kecil (bayi) di tengah keharmonisan rumah tangga kami.
Karena dia anak lelaki satu-satunya dalam keluarganya, jadi aku harus berusaha untuk
mendapatkan
 penerus generasi baginya. Alhamdulillah saat itu suamiku mendukungku…Ia
 mengaggap Allah belum mempercayai kami untuk menjaga titipan-NYA.
Tapi
 keluarganya mulai resah. Dari awal kami menikah, ibu & adiknya 
tidak menyukaiku. Aku sering mendapat perlakuan yang tidak menyenangkan 
dari mereka, namun aku selalu berusaha menutupi hal itu dari suamiku…
Didepan
 suami ku mereka berlaku sangat baik padaku, tapi dibelakang suami ku, 
aku dihina-hina oleh mereka…Pernah suatu ketika satu tahun usia 
pernikahan kami, suamiku mengalami kecelakaan, mobilnya hancur. 
Alhamdulillah suami ku selamat dari maut yang hampir membuat ku menjadi 
seorang janda itu.
Ia dirawat dirumah sakit pada saat dia belum 
sadarkan diri setelah kecelakaan. Aku selalu menemaninya siang & 
malam sambil kubacakan ayat-ayat suci Al – Qur’an. Aku sibuk bolak-balik
 dari rumah sakit dan dari tempat aku melakukan aktivitas sosial ku, aku
 sibuk mengurus suamiku yang sakit karena kecelakaan.Namun saat ketika 
aku kembali ke rumah sakit setelah dari rumah kami, aku melihat di dalam
 kamarnya ada ibu, adik-adiknya dan teman-teman suamiku, dan disaat itu 
juga.. aku melihat ada seorang wanita yang sangat akrab mengobrol dengan
 ibu mertuaku. Mereka tertawa menghibur suamiku.
Alhamdulillah 
suamiku ternyata sudah sadar, aku menangis ketika melihat suami ku sudah
 sadar, tapi aku tak boleh sedih di hadapannya.
Kubuka pintu yang 
tertutup rapat itu sambil mengatakan, “Assalammu’alaikum” dan mereka 
menjawab salam ku. Aku berdiam sejenak di depan pintu dan mereka semua 
melihatku. Suamiku menatapku penuh manja, mungkin ia kangen padaku 
karena sudah 5 hari mata nya selalu tertutup.
Tangannya melambai,
 mengisyaratkan aku untuk memegang tangannya erat. Setelah aku 
menghampirinya, kucium tangannya sambil berkata “Assalammu’alaikum”, ia 
pun menjawab salam ku dengan suaranya yang lirih namun penuh dengan 
cinta. Aku pun senyum melihat wajahnya.
Lalu.. Ibu nya berbicara denganku …
“Fis, kenalkan ini Desi teman Fikri”.
Aku
 teringat cerita dari suamiku bahwa teman baiknya pernah mencintainya, 
perempuan itu bernama Desi dan dia sangat akrab dengan keluarga suamiku.
 Hingga akhirnya aku bertemu dengan orangnya juga. Aku pun langsung 
berjabat tangan dengannya, tak banyak aku bicara di dalam ruangan 
tersebut,aku tak mengerti apa yg mereka bicarakan.
Aku sibuk 
membersihkan & mengobati luka-luka di kepala suamiku, baru sebentar 
aku membersihkan mukanya, tiba-tiba adik ipar ku yang bernama Dian 
mengajakku keluar, ia minta ditemani ke kantin. Dan suamiku pun 
mengijinkannya. Kemudian aku pun menemaninya.
Tapi ketika di luar adik ipar ku berkata, ”lebih baik kau pulang saja, ada kami yg menjaga abang disini. Kau istirahat saja. ”
Anehnya,
 aku tak diperbolehkan berpamitan dengan suamiku dengan alasan abang 
harus banyak beristirahat dan karena psikologisnya masih labil. Aku 
berdebat dengannya mempertanyakan mengapa aku tidak diizinkan berpamitan
 dengan suamiku. Tapi tiba-tiba ibu mertuaku datang menghampiriku dan ia
 juga mengatakan hal yang sama. Nantinya dia akan memberi alasan pada 
suamiku mengapa aku pulang tak berpamitan padanya, toh suamiku selalu 
menurut apa kata ibunya, baik ibunya Salah ataupun Tidak, suamiku tetap 
saja membenarkannya. Akhirnya aku pun pergi meninggalkan rumah sakit itu
 dengan linangan air mata.
Sejak saat itu aku tidak pernah diijinkan 
menjenguk suamiku sampai ia kembali dari rumah sakit. Dan aku hanya bisa
 menangis dalam kesendirianku. Menangis mengapa mereka sangat 
membenciku.
Hari itu.. aku menangis tanpa sebab, yang ada di 
benakku aku takut kehilangannya, aku takut cintanya dibagi dengan yang 
lain. Pagi itu, pada saat aku membersihkan pekarangan rumah kami, 
suamiku memanggil ku ke taman belakang, ia baru saja selesai sarapan, ia
 mengajakku duduk di ayunan favorit kami sambil melihat ikan-ikan yang 
bertaburan di kolam air mancur itu.
Aku bertanya, ”Ada apa kamu memanggilku?”
Ia berkata, ”Besok aku akan menjenguk keluargaku di Sabang”
Aku menjawab, ”Ia sayang.. aku tahu, aku sudah mengemasi barang-barang kamu di travel bag dan kamu sudah memeegang tiket bukan?”
“
 Ya tapi aku tak akan lama disana, cuma 3 minggu aku disana, aku juga 
sudah lama tidak bertemu dengan keluarga besarku sejak kita menikah dan 
aku akan pulang dengan mama ku”, jawabnya tegas.
“Mengapa baru 
sekarang bicara, aku pikir hanya seminggu saja kamu disana?“, tanya ku 
balik kepadanya penuh dengan rasa penasaran dan sedikit rasa kecewa 
karena ia baru memberitahukan rencana kepulanggannya itu, padahal aku 
telah bersusah payah mencarikan tiket pesawat untuknya.
”Mama minta aku yang menemaninya saat pulang nanti”, jawabnya tegas.
”Sekarang
 aku ingin seharian dengan kamu karena nanti kita 3 minggu tidak 
bertemu, ya kan?”, lanjut nya lagi sambil memelukku dan mencium 
keningku. Hatiku sedih dengan keputusannya, tapi tak boleh aku tunjukkan
 pada nya.
Bahagianya aku dimanja dengan suami yang penuh dengan 
rasa sayang & cintanya walau terkadang ia bersikap kurang adil 
terhadapku.
Aku hanya bisa tersenyum saja, padahal aku ingin bersama 
Suamiku, tapi karena keluarganya tidak menyukaiku hanya karena mereka 
cemburu padaku karena Suamiku sangat sayang padaku.
Kemudian aku memutuskan agar ia saja yg pergi dan kami juga harus berhemat dalam pengeluaran anggaran rumah tangga kami.
Karena
 ini acara sakral bagi keluarganya, jadi seluruh keluarganya harus 
komplit. Walaupun begitu, aku pun tetap tak akan diperdulikan oleh 
keluarganya harus datang ataupun tidak. Tidak hadir justru membuat 
mereka sangat senang dan aku pun tak mau membuat riuh keluarga ini.
Malam
 sebelum kepergiannya, aku menangis sambil membereskan keperluan yang 
akan dibawanya ke Sabang, ia menatapku dan menghapus airmata yang jatuh 
dipipiku, lalu aku peluk erat dirinya. Hati ini bergumam tak merelakan 
dia pergi seakan terjadi sesuatu, tapi aku tidak tahu apa yang akan 
terjadi. Aku hanya bisa menangis karena akan ditinggal pergi olehnya.
Aku tidak pernah ditinggal pergi selama ini, karena kami selalu bersama-sama kemana pun ia pergi.
Apa
 mungkin aku sedih karena aku sendirian dan tidak memiliki teman, karena
 biasanya hanya pembantu sajalah teman mengobrolku. Hati ini sedih akan 
di tinggal pergi olehnya.
Sampai keesokan harinya, aku terus 
menangis.. menangisi kepergiannya. Aku tak tahu mengapa sesedih ini, 
perasaanku tak enak, tapi aku tak boleh berburuk sangka. Aku harus 
percaya apada suamiku. Dia pasti akan selalu menelponku.
Berjauhan
 dengan suamiku, aku merasa sangat tidak nyaman, aku merasa sendiri. 
Untunglah aku mempunyai kesibukan sebagai seorang aktivis, jadinya aku 
tak terlalu kesepian ditinggal pergi ke Sabang.
Saat kami 
berhubungan jarak jauh, komunikasi kami memburuk dan aku pun jatuh 
sakit. Rahimku terasa sakit sekali seperti di lilit oleh tali. Tak tahan
 aku menahan rasa sakit dirahimku ini, sampai-sampai aku mengalami 
pendarahan. Aku dilarikan ke rumah sakit oleh adik laki-lakiku yang 
kebetulan menemaniku disana. Dokter memvonis aku terkena kanker mulut 
rahim stadium 3.
Aku menangis.. apa yang bisa aku banggakan lagi..
Mertuaku
 akan semakin menghinaku, suamiku yang malang yang selalu berharap akan 
punya keturunan dari rahimku.. namun aku tak bisa memberikannya 
keturunan. Dan kemudian aku hanya bisa memeluk adikku.
Aku kangen
 pada suamiku, aku selalu menunggu ia pulang dan bertanya-tanya, 
“kapankah ia segera pulang?” aku tak tahu..Sementara suamiku disana, aku
 tidak tahu mengapa ia selalu marah-marah jika menelponku. Bagaimana aku
 akan menceritakan kondisiku jika ia selalu marah-marah terhadapku..
Lebih
 baik aku tutupi dulu tentang hal ini dan aku juga tak mau membuatnya 
khawatir selama ia berada di Sabang.Lebih baik nanti saja ketika ia 
sudah pulang dari Sabang, aku akan cerita padanya. Setiap hari aku 
menanti suamiku pulang, hari demi hari aku hitung…
Sudah 3 minggu 
suamiku di Sabang, malam itu ketika aku sedang melihat foto-foto kami, 
ponselku berbunyi menandakan ada sms yang masuk.
Kubuka di inbox ponselku, ternyata dari suamiku yang sms.
Ia
 menulis, “aku sudah beli tiket untuk pulang, aku pulangnya satu hari 
lagi, aku akan kabarin lagi”.Hanya itu saja yang diinfokannya. Aku ingin
 marah, tapi aku pendam saja ego yang tidak baik ini. Hari yg aku tunggu
 pun tiba, aku menantinya di rumah.
Sebagai seorang istri, aku pun 
berdandan yang cantik dan memakai parfum kesukaannya untuk menyambut 
suamiku pulang, dan nantinya aku juga akan menyelesaikan masalah 
komunikasi kami yg buruk akhir-akhir ini.
Bel pun berbunyi, 
kubukakan pintu untuknya dan ia pun mengucap salam. Sebelum masuk, aku 
pegang tangannya kedepan teras namun ia tetap berdiri, aku membungkuk 
untuk melepaskan sepatu, kaos kaki dan kucuci kedua kakinya, aku tak mau
 ada syaithan yang masuk ke dalam rumah kami.Setelah itu akupun berdiri 
langsung mencium tangannya tapi apa reaksinya..
Masya Allah.. ia 
tidak mencium keningku, ia hanya diam dan langsung naik keruangan atas, 
kemudian mandi dan tidur tanpa bertanya kabarku..
Aku hanya 
berpikir, mungkin dia capek. Aku pun segera merapikan bawaan nya sampai 
aku pun tertidur. Malam menunjukkan 1/3 malam, mengingatkan aku pada 
tempat mengadu yaitu Allah, Sang Maha Pencipta. Biasa nya kami selalu 
berjama’ah, tapi karena melihat nya tidur sangat pulas, aku tak tega 
membangunkannya. Aku hanya mengelus wajahnya dan aku cium keningnya, 
lalu aku sholat tahajud 8 rakaat plus witir 3 raka’at.
Aku 
mendengar suara mobilnya, aku terbangun lalu aku melihat dirinya dari 
balkon kamar kami yang bersiap-siap untuk pergi. Lalu aku memanggilnya 
tapi ia tak mendengar. Kemudian aku ambil jilbabku dan aku berlari dari 
atas ke bawah tanpa memperdulikan darah yg bercecer dari rahimku untuk 
mengejarnya tapi ia begitu cepat pergi.
Aku merasa ada yang aneh dengan suamiku. Ada apa dengan suamiku? Mengapa ia bersikap tidak biasa terhadapku?
Aku
 tidak bisa diam begitu saja, firasatku mengatakan ada sesuatu. Saat itu
 juga aku langsung menelpon kerumah mertuaku dan kebetulan Dian yang 
mengangkat telponnya, aku bercerita dan aku bertanya apa yang sedang 
terjadi dengan suamiku. Dengan enteng ia menjawab, “Loe pikir aja 
sendiri!!!”. Telpon pun langsung terputus.
Ada apa ini? Tanya 
hatiku penuh dalam kecemasan. Mengapa suamiku berubah setelah ia kembali
 dari kota kelahirannya. Mengapa ia tak mau berbicara padaku, apalagi 
memanjakan aku.
Semakin hari ia menjadi orang yang pendiam, seakan ia
 telah melepas tanggung jawabnya sebagai seorang suami. Kami hanya 
berbicara seperlunya saja, aku selalu diintrogasinya. Selalu bertanya 
aku dari mana dan mengapa pulang terlambat dan ia bertanya dengan nada 
yg keras. Suamiku telah berubah…Bahkan yang membuat ku kaget, aku pernah
 dituduhnya berzina dengan mantan pacarku. Ingin rasanya aku menampar 
suamiku yang telah menuduhku serendah itu, tapi aku selalu ingat.. 
sebagaimana pun salahnya seorang suami, status suami tetap di atas para 
istri, itu pedoman yang aku pegang.
Aku hanya berdo’a semoga suamiku sadar akan prilakunya.
Dua
 tahun berlalu, suamiku tak kunjung berubah juga. Aku menangis setiap 
malam, lelah menanti seperti ini, kami seperti orang asing yang baru 
saja berkenalan.
Kemesraan yang kami ciptakan dulu telah sirna. 
Walaupun kondisinya tetap seperti itu, aku tetap merawatnya & 
menyiakan segala yang ia perlukan. Penyakitkupun masih aku simpan dengan
 baik dan sekalipun ia tak pernah bertanya perihal obat apa yang aku 
minum. Kebahagiaan ku telah sirna, harapan menjadi ibu pun telah aku 
pendam. Aku tak tahu kapan ini semua akan berakhir.
Bersyukurlah..
 aku punya penghasilan sendiri dari aktifitasku sebagai seorang guru 
ngaji, jadi aku tak perlu meminta uang padanya hanya untuk pengobatan 
kankerku. Aku pun hanya berobat semampuku.Sungguh.. suami yang dulu aku 
puja dan aku banggakan, sekarang telah menjadi orang asing bagiku, 
setiap aku bertanya ia selalu menyuruhku untuk berpikir sendiri. 
Tiba-tiba saja malam itu setelah makan malam usai, suamiku memanggilku.
“Ya, ada apa Yah!” sahutku dengan memanggil nama kesayangannya “Ayah”.
“Lusa kita siap-siap ke Sabang ya.” Jawabnya tegas.
“Ada apa? Mengapa?”, sahutku penuh dengan keheranan.
Astaghfirullah..
 suami ku yang dulu lembut tiba-tiba saja menjadi kasar, dia 
membentakku. Sehingga tak ada lagi kelanjutan diskusi antara kami.
Dia mengatakan ”Kau ikut saja jangan banyak tanya!!”
Lalu
 aku pun bersegera mengemasi barang-barang yang akan dibawa ke Sabang 
sambil menangis, sedih karena suamiku kini tak ku kenal lagi.
Lima
 tahun kami menikah dan sudah 2 tahun pula ia menjadi orang asing 
buatku. Ku lihat kamar kami yg dulu hangat penuh cinta yang dihiasi foto
 pernikahan kami, sekarang menjadi dingin.. sangat dingin dari batu es. 
Aku menangis dengan kebingungan ini. Ingin rasanya aku berontak 
berteriak, tapi aku tak bisa.Suamiku tak suka dengan wanita yang kasar, 
ngomong dengan nada tinggi, suka membanting barang-barang. Dia bilang 
perbuatan itu menunjukkan sikap ketidakhormatan kepadanya. Aku hanya 
bisa bersabar menantinya bicara dan sabar mengobati penyakitku ini, 
dalam kesendirianku..
Kami telah sampai di Sabang, aku masih 
merasa lelah karena semalaman aku tidak tidur karena terus berpikir. 
Keluarga besarnya juga telah berkumpul disana, termasuk ibu & 
adik-adiknya. Aku tidak tahu ada acara apa ini..Aku dan suamiku pun 
masuk ke kamar kami. Suamiku tak betah didalam kamar tua itu, ia pun 
langsung keluar bergabung dengan keluarga besarnya.
Baru saja aku 
membongkar koper kami dan ingin memasukkannya ke dalam lemari tua yg 
berada di dekat pintu kamar, lemari tua yang telah ada sebelum suamiku 
lahir, tiba-tiba Tante Lia, tante yang sangat baik padaku memanggil ku 
untuk bersegera berkumpul diruang tengah, aku pun menuju ke ruang 
keluarga yang berada ditengah rumah besar itu, yang tampak seperti rumah
 zaman peninggalan belanda.
Kemudian aku duduk disamping suamiku,
 dan suamiku menunduk penuh dengan kebisuan, aku tak berani bertanya 
padanya.Tiba-tiba saja neneknya, orang yang dianggap paling tua dan 
paling berhak atas semuanya, membuka pembicaraan.
“Baiklah, 
karena kalian telah berkumpul, nenek ingin bicara dengan kau Fisha”. 
Neneknya berbicara sangat tegas, dengan sorot mata yang tajam.
”Ada apa ya Nek?” sahutku dengan penuh tanya..
Nenek
 pun menjawab, “Kau telah bergabung dengan keluarga kami hampir 8 tahun,
 sampai saat ini kami tak melihat tanda-tanda kehamilan yang sempurna 
sebab selama ini kau selalu keguguran!!“.
Aku menangis.. untuk inikah aku diundang kemari? Untuk dihina ataukah dipisahkan dengan suamiku?
“Sebenarnya
 kami sudah punya calon untuk Fikri, dari dulu.. sebelum kau menikah 
dengannya. Tapi Fikri anak yang keras kepala, tak mau di atur,dan 
akhirnya menikahlah ia dengan kau.” Neneknya berbicara sangat lantang, 
mungkin logat orang Sabang seperti itu semua.
Aku hanya bisa tersenyum dan melihat wajah suamiku yang kosong matanya.
“Dan aku dengar dari ibu mertuamu kau pun sudah berkenalan dengannya”, neneknya masih melanjutkan pembicaraan itu.
Sedangkan
 suamiku hanya terdiam saja, tapi aku lihat air matanya. Ingin aku peluk
 suamiku agar ia kuat dengan semua ini, tapi aku tak punya keberanian 
itu.
Neneknya masih saja berbicara panjang lebar dan yang 
terakhir dari ucapannya dengan mimik wajah yang sangat menantang 
kemudian berkata, “kau maunya gimana? kau dimadu atau diceraikan?“
MasyaAllah..
 kuatkan hati ini.. aku ingin jatuh pingsan. Hati ini seakan remuk 
mendengarnya, hancur hatiku. Mengapa keluarganya bersikap seperti ini 
terhadapku..
Aku selalu munutupi masalah ini dari kedua orang tuaku yang tinggal di pulau
kayu, mereka mengira aku sangat bahagia 2 tahun belakangan ini.
“Fish, jawab!.” Dengan tegas Ibunya langsung memintaku untuk menjawab.
Aku langsung memegang tangan suamiku. Dengan tangan yang dingin dan gemetar aku menjawab dengan tegas.
Walaupun aku tidak bisa berdiskusi dulu dengan imamku, tapi aku dapat berdiskusi dengannya melalui bathiniah.
‘’Untuk kebaikan dan masa depan keluarga ini, aku akan menyambut baik seorang wanita baru dirumah kami..”
Itu
 yang aku jawab, dengan kata lain aku rela cintaku dibagi. Dan pada saat
 itu juga suamiku memandangku dengan tetesan air mata, tapi air mataku 
tak sedikit pun menetes di hadapan mereka.
Aku lalu bertanya kepada suamiku, “Ayah siapakah yang akan menjadi sahabatku dirumah kita nanti, yah?”
Suamiku menjawab, ”Dia Desi!”
Aku
 pun langsung menarik napas dan langsung berbicara, ”Kapan pernikahannya
 berlangsung? Apa yang harus saya siapkan dalam pernikahan ini Nek?.”
Ayah mertuaku menjawab, “Pernikahannya 2 minggu lagi.”
”Baiklah
 kalo begitu saya akan menelpon pembantu di rumah, untuk menyuruhnya 
mengurus KK kami ke kelurahan besok”, setelah berbicara seperti itu aku 
permisi untuk pamit ke kamar.
Tak tahan lagi.. air mata ini akan 
turun, aku berjalan sangat cepat, aku buka pintu kamar dan aku langsung 
duduk di tempat tidur. Ingin berteriak, tapi aku sendiri disini. Tak 
kuat rasanya menerima hal ini, cintaku telah dibagi. Sakit. Diiringi 
akutnya penyakitku..
Apakah karena ini suamiku menjadi orang yang asing selama 2 tahun belakangan ini?
Aku berjalan menuju ke meja rias, kubuka jilbabku, aku bercermin sambil bertanya-tanya, “sudah tidak cantikkah aku ini?“
Ku
 ambil sisirku, aku menyisiri rambutku yang setiap hari rontok. Kulihat 
wajahku, ternyata aku memang sudah tidak cantik lagi, rambutku sudah 
hampir habis.. kepalaku sudah botak dibagian tengahnya.
Tiba-tiba
 pintu kamar ini terbuka, ternyata suamiku yang datang, ia berdiri 
dibelakangku. Tak kuhapus air mata ini, aku bersegera memandangnya dari 
cermin meja rias itu.
Kami diam sejenak, lalu aku mulai pembicaraan, 
“terima kasih ayah, kamu memberi sahabat kepada ku. Jadi aku tak perlu 
sedih lagi saat ditinggal pergi kamu nanti! Iya kan?.”
Suamiku 
mengangguk sambil melihat kepalaku tapi tak sedikitpun ia tersenyum dan 
bertanya kenapa rambutku rontok, dia hanya mengatakan jangan salah 
memakai shampo.
Dalam hatiku bertanya, “mengapa ia sangat cuek?” dan 
ia sudah tak memanjakanku lagi. Lalu dia berkata, “sudah malam, kita 
istirahat yuk!“
“Aku sholat isya dulu baru aku tidur”, jawabku tenang.
Dalam
 sholat dan dalam tidur aku menangis. Ku hitung mundur waktu, kapan aku 
akan berbagi suami dengannya. Aku pun ikut sibuk mengurusi pernikahan 
suamiku.
Aku tak tahu kalau Desi orang Sabang juga. Sudahlah, ini 
mungkin takdirku. Aku ingin suamiku kembali seperti dulu, yang sangat 
memanjakan aku atas rasa sayang dan cintanya itu..Malam sebelum hari 
pernikahan suamiku, aku menulis curahan hatiku di laptopku.
Di laptop
 aku menulis saat-saat terakhirku melihat suamiku, aku marah pada 
suamiku yang telah menelantarkanku. Aku menangis melihat suamiku yang 
sedang tidur pulas, apa salahku? sampai ia berlaku sekejam itu kepadaku.
 Aku
save di mydocument yang bertitle “Aku Mencintaimu Suamiku.”
Hari
 pernikahan telah tiba, aku telah siap, tapi aku tak sanggup untuk 
keluar. Aku berdiri didekat jendela, aku melihat matahari, karena 
mungkin saja aku takkan bisa melihat sinarnya lagi. Aku berdiri sangat 
lama.. lalu suamiku yang telah siap dengan pakaian pengantinnya masuk 
dan berbicara padaku.
“Apakah kamu sudah siap?”
Kuhapus airmata yang menetes diwajahku sambil berkata :
“Nanti
 jika ia telah sah jadi istrimu, ketika kamu membawa ia masuk kedalam 
rumah ini, cucilah kakinya sebagaimana kamu mencuci kakiku dulu, lalu 
ketika kalian masuk ke dalam kamar pengantin bacakan do’a di 
ubun-ubunnya sebagaimana yang kamu lakukan padaku dulu. Lalu setelah 
itu..”, perkataanku terhenti karena tak sanggup aku meneruskan 
pembicaraan itu, aku ingin menagis meledak.
Tiba-tiba suamiku menjawab “Lalu apa Bunda?”
Aku kaget mendengar kata itu, yang tadinya aku menunduk seketika aku langsung menatapnya dengan mata yang berbinar-binar…
“Bisa kamu ulangi apa yang kamu ucapkan barusan?”, pintaku tuk menyakini bahwa kuping ini tidak salah mendengar.
Dia
 mengangguk dan berkata, ”Baik bunda akan ayah ulangi, lalu apa bunda?”,
 sambil ia mengelus wajah dan menghapus airmataku, dia agak sedikit 
membungkuk karena dia sangat tinggi, aku hanya sedadanya saja.
Dia
 tersenyum sambil berkata, ”Kita lihat saja nanti ya!”. Dia memelukku 
dan berkata, “bunda adalah wanita yang paling kuat yang ayah temui 
selain mama”..
Kemudian ia mencium keningku, aku langsung memeluknya 
erat dan berkata, “Ayah, apakah ini akan segera berakhir? Ayah kemana 
saja? Mengapa Ayah berubah? Aku kangen sama Ayah? Aku kangen belaian 
kasih sayang Ayah? Aku kangen dengan manjanya Ayah? Aku kesepian Ayah? 
Dan satu hal lagi yang harus Ayah tau, bahwa aku tidak pernah berzinah! 
Dulu.. waktu awal kita pacaran, aku memang belum bisa melupakannya, 
setelah 4 bulan bersama Ayah baru bisa aku terima, jika yang dihadapanku
 itu adalah lelaki yang aku cari. Bukan berarti aku pernah berzina 
Ayah.” Aku langsung bersujud di kakinya dan muncium kaki imamku sambil 
berkata, ”Aku minta maaf Ayah, telah membuatmu susah”.
Saat itu juga, diangkatnya badanku.. ia hanya menangis.
Ia
 memelukku sangat lama, 2 tahun aku menanti dirinya kembali. Tiba-tiba 
perutku sakit, ia menyadari bahwa ada yang tidak beres denganku dan ia 
bertanya, ”bunda baik-baik saja kan?” tanyanya dengan penuh khawatir.
Aku
 pun menjawab, “bisa memeluk dan melihat kamu kembali seperti dulu itu 
sudah mebuatku baik, Yah. Aku hanya tak bisa bicara sekarang“. Karena 
dia akan menikah. Aku tak mau membuat dia khawatir. Dia harus khusyu 
menjalani acara prosesi akad nikah tersebut. Setelah tiba dimasjid, 
ijab-qabul pun dimulai. Aku duduk diseberang suamiku.
Aku melihat 
suamiku duduk berdampingan dengan perempuan itu, membuat hati ini 
cemburu, ingin berteriak mengatakan, “Ayah jangan!!”, tapi aku ingat 
akan kondisiku.
Jantung ini berdebar kencang saat mendengar 
ijab-qabul tersebut. Begitu ijab-qabul selesai, aku menarik napas 
panjang. Tante Lia, tante yang baik itu, memelukku.. Dalam hati aku 
berusaha untuk menguatkan hati ini. Ya… aku kuat.
Tak sanggup aku
 melihat mereka duduk bersanding dipelaminan. Orang-orang yang hadir di 
acara resepsi itu iba melihatku, mereka melihatku dengan tatapan sangat 
aneh, mungkin melihat wajahku yang selalu tersenyum, tapi dibalik itu.. 
hatiku menangis.
Sampai dirumah, suamiku langsung masuk ke dalam 
rumah begitu saja. Tak mencuci kakinya. Aku sangat heran dengan 
perilakunya. Apa iya, dia tidak suka dengan pernikahan ini?
Sementara itu Desi disambut hangat di dalam keluarga suamiku, tak seperti aku dahulu, yang di musuhi.
Malam
 ini aku tak bisa tidur, bagaimana bisa? Suamiku akan tidur dengan 
perempuan yang sangat aku cemburui. Aku tak tahu apa yang sedang mereka 
lakukan didalam sana.
Sepertiga malam pada saat aku ingin sholat lail
 aku keluar untuk berwudhu, lalu aku melihat ada lelaki yang mirip 
suamiku tidur disofa ruang tengah. Kudekati lalu kulihat. Masya Allah.. 
suamiku tak tidur dengan wanita itu, ia ternyata tidur disofa, aku duduk
 disofa itu sambil menghelus wajahnya yang lelah, tiba-tiba ia memegang 
tangan kiriku, tentu saja aku kaget.
“Kamu datang ke sini, aku pun 
tahu”, ia berkata seperti itu. Aku tersenyum dan megajaknya sholat lail.
 Setelah sholat lail ia berkata, “maafkan aku, aku tak boleh 
menyakitimu, kamu menderita karena ego nya aku. Besok kita pulang ke 
Jakarta, biar Desi pulang dengan mama, papa dan juga adik-adikku”
Aku
 menatapnya dengan penuh keheranan. Tapi ia langsung mengajakku untuk 
istirahat. Saat tidur ia memelukku sangat erat. Aku tersenyum saja, 
sudah lama ini tidak terjadi. Ya Allah.. apakah Engkau akan menyuruh 
malaikat maut untuk mengambil nyawaku sekarang ini, karena aku telah 
merasakan kehadirannya saat ini. Tapi.. masih bisakah engkau ijinkan aku
 untuk merasakan kehangatan dari suamiku yang telah hilang selama 2 
tahun ini..
Suamiku berbisik, “Bunda kok kurus?”
Aku menangis dalam kebisuan. Pelukannya masih bisa aku rasakan.
Aku pun berkata, “Ayah kenapa tidak tidur dengan Desi?”
”Aku
 kangen sama kamu Bunda, aku tak mau menyakitimu lagi. Kamu sudah sering
 terluka oleh sikapku yang egois.” Dengan lembut suamiku menjawab 
seperti itu.
Lalu suamiku berkata, ”Bun, Ayah minta maaf telah 
menelantarkan bunda.. Selama ayah di Sabang, ayah dengar kalau bunda 
tidak tulus mencintai ayah, bunda seperti mengejar sesuatu,
seperti
 mengejar harta ayah dan satu lagi.. ayah pernah melihat sms bunda 
dengan mantan pacar bunda dimana isinya kalau bunda gak mau berbuat 
“seperti itu” dan tulisan seperti itu diberi tanda kutip (“seperti 
itu”). Ayah ingin ngomong tapi takut bunda tersinggung dan ayah berpikir
 kalau bunda pernah tidur dengannya sebelum bunda bertemu ayah, terus 
ayah dimarahi oleh keluarga ayah karena ayah terlalu memanjakan bunda..”
Hati
 ini sakit ketika difitnah oleh suamiku, ketika tidak ada kepercayaan di
 dirinya, hanya karena omongan keluarganya yang tidak pernah melihat 
betapa tulusnya aku mencintai pasangan seumur hidupku ini.
Aku 
hanya menjawab, “Aku sudah ceritakan itu kan Yah.. Aku tidak pernah 
berzinah dan aku mencintaimu setulus hatiku, jika aku hanya mengejar 
hartamu, mengapa aku memilih kamu? Padahal banyak lelaki yang lebih 
mapan darimu waktu itu Yah.. Jika aku hanya mengejar hartamu, aku tak 
mungkin setiap hari menangis karena menderita mencintaimu..“
Entah 
aku harus bahagia atau aku harus sedih karena sahabatku sendirian 
dikamar pengantin itu. Malam itu, aku menyelesaikan masalahku dengan 
suamiku dan berusaha memaafkannya beserta sikap keluarganya juga.
Karena aku tak mau mati dalam hati yang penuh dengan rasa benci.
Keesokan harinya…
Ketika
 aku ingin terbangun untuk mengambil wudhu, kepalaku pusing, rahimku 
sakit sekali.. aku mengalami pendarahan dan suamiku kaget bukan main, ia
 langsung menggendongku.
Aku pun dilarikan ke rumah sakit..
Dari kejauhan aku mendengar suara zikir suamiku..
Aku merasakan tanganku basah..
Ketika kubuka mata ini, kulihat wajah suamiku penuh dengan rasa kekhawatiran.
Ia menggenggam tanganku dengan erat.. Dan mengatakan, ”Bunda, Ayah minta maaf…”
Berkali-kali ia mengucapkan hal itu. Dalam hatiku, apa ia tahu apa yang terjadi padaku?
Aku
 berkata dengan suara yang lirih, ”Yah, bunda ingin pulang.. bunda ingin
 bertemu kedua orang tua bunda, anterin bunda kesana ya, Yah..”
“Ayah jangan berubah lagi ya! Janji ya, Yah… !!! Bunda sayang banget sama Ayah.”
Tiba-tiba
 saja kakiku sakit sangat sakit, sakitnya semakin keatas, kakiku sudah 
tak bisa bergerak lagi.. aku tak kuat lagi memegang tangan suamiku. 
Kulihat wajahnya yang tampan, berlinang air mata.
Sebelum mata ini tertutup, kulafazkan kalimat syahadat dan ditutup dengan kalimat tahlil.
Aku bahagia melihat suamiku punya pengganti diriku..
Aku bahagia selalu melayaninya dalam suka dan duka..
Menemaninya dalam ketika ia mengalami kesulitan dari kami pacaran sampai kami menikah.
Aku bahagia bersuamikan dia. Dia adalah nafasku.
Untuk
 Ibu mertuaku : “Maafkan aku telah hadir didalam kehidupan anakmu sampai
 aku hidup didalam hati anakmu. Ketahuilah Ma.. dari dulu aku selalu 
berdo’a agar Mama merestui hubungan kami.
Mengapa engkau fitnah diriku didepan suamiku, apa engkau punya buktinya Ma?
Mengapa engkau sangat cemburu padaku Ma?
Fikri
 tetap milikmu Ma, aku tak pernah menyuruhnya untuk durhaka kepadamu, 
dari dulu aku selalu mengerti apa yang kamu inginkan dari anakmu, tapi 
mengapa kau benci diriku.. Dengan Desi kau sangat baik tetapi denganku 
menantumu kau bersikap sebaliknya..”
Setelah ku buka laptop, kubaca curhatan istriku.
==========================
===========================
Ayah, mengapa keluargamu sangat membenciku?
Aku dihina oleh mereka ayah..
Mengapa mereka bisa baik terhadapku pada saat ada dirimu?
Pernah
 suatu ketika aku bertemu Dian di jalan, aku menegurnya karena dia adik 
iparku tapi aku disambut dengan wajah ketidaksukaannya. Sangat terlihat 
Ayah..
Tapi ketika engkau bersamaku, Dian sangat baik, sangat manis 
dan ia memanggilku dengan panggilan yang sangat menghormatiku. Mengapa 
seperti itu ayah ?
Aku tak bisa berbicara tentang ini padamu, karena aku tahu kamu pasti membela adikmu, tak ada gunanya Yah..
Aku diusir dari rumah sakit.
Aku tak boleh merawat suamiku.
Aku cemburu pada Desi yang sangat akrab dengan mertuaku.
Tiap hari ia datang ke rumah sakit bersama mertuaku.
Aku sangat marah..
Jika aku membicarakan hal ini pada suamiku, ia akan pasti membela Desi dan ibunya..
Aku tak mau sakit hati lagi..
Ya Allah kuatkan aku, maafkan aku..
Engkau Maha Adil..
Berilah keadilan ini padaku, Ya Allah..
Ayah sudah berubah, ayah sudah tak sayang lagi pada ku..
Aku berusaha untuk mandiri ayah, aku tak akan bermanja-manja lagi padamu..
Aku kuat ayah dalam kesakitan ini..
Lihatlah ayah, aku kuat walaupun penyakit kanker ini terus menyerangku..
Aku bisa melakukan ini semua sendiri ayah..
Besok
 suamiku akan menikah dengan perempuan itu. Perempuan yang aku benci, 
yang aku cemburui, tapi aku tak boleh egois, ini untuk kebahagian 
keluarga suamiku. Aku harus sadar diri.
Ayah, sebenarnya aku tak mau diduakan olehmu..
Mengapa harus Desi yang menjadi sahabatku?
Ayah.. aku masih tak rela..
Tapi aku harus ikhlas menerimanya.
Pagi
 nanti suamiku melangsungkan pernikahan keduanya. Semoga saja aku masih 
punya waktu untuk melihatnya tersenyum untukku. Aku ingin sekali 
merasakan kasih sayangnya yang terakhir. Sebelum ajal ini menjemputku.
”Ayah.. aku kangen Ayah..”
================================================== ===
’’Dan kini aku telah membawamu ke orang tuamu, Bunda..
Aku akan mengunjungimu sebulan sekali bersama Desi di Pulau Kayu ini.
Aku akan selalu membawakanmu bunga mawar yang berwana pink yang mencerminkan keceriaan hatimu yang sakit tertusuk duri.’’
Bunda tetap cantik, selalu tersenyum disaat tidur..
Bunda akan selalu hidup dihati ayah..
Bunda.. Desi tak sepertimu, yang tidak pernah marah..
Desi
 sangat berbeda denganmu, ia tak pernah membersihkan telingaku, rambutku
 tak pernah di creambathnya, kakiku pun tak pernah dicucinya.
Ayah menyesal telah menelantarkanmu selama 2 tahun, kamu sakit pun aku tak perduli, hidup dalam kesendirianmu..
Seandainya Ayah tak menelantarkan Bunda, mungkin Ayah masih bisa tidur dengan belaian tangan Bunda yang halus..
Sekarang Ayah sadar, bahwa ayah sangat membutuhkan bunda..
Bunda.. kamu wanita yang paling tegar yang pernah kutemui..
Aku menyesal telah asik dalam ke-egoanku..
Bunda.. maafkan aku.. Bunda tidur tetap manis. Senyum manjamu terlihat di tidurmu yang panjang..
’’Maafkan
 aku, tak bisa bersikap adil dan membahagiakanmu, aku selalu meng-iyakan
 apa kata ibuku, karena aku takut menjadi anak durhaka.
Maafkan aku ketika kau di fitnah oleh keluargaku, aku percaya begitu saja..
Apakah Bunda akan mendapat pengganti ayah di surga sana?
Apakah Bunda tetap menanti ayah disana? Tetap setia dialam sana?
Tunggulah Ayah disana Bunda..
Bisakan? Seperti Bunda menunggu ayah di sini.. Aku mohon..
’’Ayah Sayang Bunda….”
By Andi.Muhammad Muflihuddin  ·  

 
Tidak ada komentar:
Posting Komentar